Bertempat
tinggal di dalam rumah susun sudah menjadi gaya hidup di Singapura.
Lebih dari satu juta gedung rumah rusun yang tersebar di seantero negara
kecil itu dihuni oleh 82% warganya. Apakah perlawanan warga yang
menolak lahannya dibebaskan dan pindah ke rumah susun seperti terjadi di
Jakarta juga dihadapi pemerintah Singapura?
"Oh
jelas, kami juga menghadapi masalah begitu. Tapi itu 40 tahun lalu,
sekarang sih nggak ada yang menolak di-rumahsusun-kan," jawab Tay Yew
Nguan, deputy director Housing and Development Board (HDB), Singapura.
Kepada rombongan jurnalis Indonesia yang diundang Singapore Internasional Singapore, pria paruh baya ini kemudian mengisahkan sejarah pembangunan proyek rumah susun di Singapura yang dimulai pada 1965. Ketika itu wajah Singapura tidak ubahnya perkampungan kumuh raksasa. Para pendatang baru membangun rumah-rumah semi permanen di bantaran sungai dengan sanitasi memprihatinkan.
Pembangunan gedung rumah susun jelas membutuhkan lahan tidak sedikit. Di sini penolakan warga dimulai dengan berbagai alasan yang serupa dengan yang kita temui di Indonesia.
"Akhirnya setiap batang pohon dan tanaman produktif lain yang berdiri di atasnya kami bayar, jadi tidak cuma lahannya yang kami beli. Unit rusunnya kami lengkapi dengan perabotan rumah tangga dan dapat subsidi. Kasarnya kami bayar orang itu agar pindah ke rusun," ungkapnya dalam perbincangan di kantor HDB di Toa Payoh, Singapura.
Nguan mengakui metode seperti itu memakan dana luar biasa tinggi, namun hasilnya sebanding. Warga yang tinggal di rusun kualitas hidupnya meningkat drastis dibanding sebelumnya, dan perbaikan itu dilihat oleh warga yang masih bertahan di kampung-kampung kumuh.
Pemerintah Singapura juga memperbaiki prosedur dan perencanaan jangka panjang pembangunan rumah susun. Kini sebelum gedung rumah susun siap dihuni maka terlebih dahulu dibangun pasar, sekolah, jalur kendaraan umum dan stasiun MRT di dekatnya. Termasuk ruang terbuka hijau di sekelilingnya
Kepada rombongan jurnalis Indonesia yang diundang Singapore Internasional Singapore, pria paruh baya ini kemudian mengisahkan sejarah pembangunan proyek rumah susun di Singapura yang dimulai pada 1965. Ketika itu wajah Singapura tidak ubahnya perkampungan kumuh raksasa. Para pendatang baru membangun rumah-rumah semi permanen di bantaran sungai dengan sanitasi memprihatinkan.
Pembangunan gedung rumah susun jelas membutuhkan lahan tidak sedikit. Di sini penolakan warga dimulai dengan berbagai alasan yang serupa dengan yang kita temui di Indonesia.
"Akhirnya setiap batang pohon dan tanaman produktif lain yang berdiri di atasnya kami bayar, jadi tidak cuma lahannya yang kami beli. Unit rusunnya kami lengkapi dengan perabotan rumah tangga dan dapat subsidi. Kasarnya kami bayar orang itu agar pindah ke rusun," ungkapnya dalam perbincangan di kantor HDB di Toa Payoh, Singapura.
Nguan mengakui metode seperti itu memakan dana luar biasa tinggi, namun hasilnya sebanding. Warga yang tinggal di rusun kualitas hidupnya meningkat drastis dibanding sebelumnya, dan perbaikan itu dilihat oleh warga yang masih bertahan di kampung-kampung kumuh.
Pemerintah Singapura juga memperbaiki prosedur dan perencanaan jangka panjang pembangunan rumah susun. Kini sebelum gedung rumah susun siap dihuni maka terlebih dahulu dibangun pasar, sekolah, jalur kendaraan umum dan stasiun MRT di dekatnya. Termasuk ruang terbuka hijau di sekelilingnya
KOTAK KOMENTAR
|