Tuesday, 18 November 2014

Kota-Kota di Asia Dengan Teknologi Terhebat




komentar | baca - tulis komentar


Asia masih sangat muda dan segar dalam hal teknologi, jadi ekosistem teknologi di benua ini baru saja terbentuk. Secara ekonomi, Asia baru bertumbuh cepat sejak beberapa dekade lalu. Sedangkan di barat, ekosistem ini telah dibangun sejak lama dan kita telah mengetahui beberapa nama besar dan wilayah penting seperti Silicon Valley, New York, London, Paris, dan lainnya. Siapa yang tahu Asia? 

Benua ini sangat besar, dan sulit untuk memutuskan di mana harus memulai mempelajari benua ini. Jadi, kami bertemu dan berbincang dengan blogger, investor, dan entrepreneur di seluruh Asia untuk meminta mereka berbagi sedikit tentang ekosistem startup di kota dan negara mereka masing-masing. Dan berikut adalah 13 ekosistem startup di seluruh Asia. 

1. Singapura.
2. Tokyo, Jepang.
3. Beijing, dan Shanghai, China.
4. Kuala Lumpur, Malaysia.
5. Taipei, Taiwan.
6. Hong Kong, China.
7. Seoul, Korea Selatan.
8. Jakarta, Indonesia.
9. Bangkok, Thailand.
10. Hanoi dan kota Ho Chi Minh, Vietnam.
11. Manila, Filipina.
12. India.
13. Pakistan. 
Singapura



Singapura adalah tujuan pertama di Asia bagi sebagian besar orang barat. Negara ini sering disebut sebagai tempat terbaik untuk hidup di dunia dan diperkirakan akan menyalip Swiss sebagai negara pinggir laut terkaya pada tahun 2020. Dengan kata lain, Singapura adalah negara kaya dan mempunyai infrastruktur bagus termasuk sistem pemerintahan, hukum, dan keuangan yang stabil, bersih, dan efisien, ditambah lagi dengan adanya jaringan transportasi dan IT yang solid, tenaga kerja yang terdidik, masyarakat multikultural yang mampu berbahasa Inggris, dan masih banyak lagi. Meski Singapura mempunyai populasi kecil yaitu hanya lima juta orang, negara ini memiliki tingkat penetrasi internet, mobile, dan smartphone yang kuat, dengan memiliki ARPU sebesar USD 40, dan pasar e-commerce yang bernilai USD 2 miliar dan terus bertumbuh.

Singapura mungkin memiliki ekosistem startup yang paling berkembang di Asia, dengan munculnya banyak startup pada berbagai tahap. Negara ini juga mempunyai akselerator yang sangat aktif seperti JFDI dan banyak pendanaan awal dialirkan sebagai bagian dari skema pendanaan NRF TIS dari pemerintah. Selain itu, ada banyak angel investor seperti co-founder Skype Toivo Annus (yang telah berinvestasi di startup Singapura seperti Coda, Luxola, Redmart, Referral Candy, ADZ, dan Garena).

Singapura adalah titik berkumpulnya startup di Asia dan menjadi launchpad bagi entrepreneur lokal dan juga entrepreneur asing untuk membangun bisnis di negara ini. Singapura memiliki banyak perusahaan lokal (SGCarMart, HungryGoWhere, dll) dan internasional (JobsCentral, Brandtology, TenCube, dll.) yang sudah exit dalam beberapa tahun terakhir, dan juga perusahaan yang sedang berkembang seperti PropertyGuru dan Reebonz.

Meskipun demikian, potensi Singapura sebagai pusat startup di Asia  Tenggara terancam oleh aturan imigrasi yang ketat, birokrasi pemerintahan yang terlalu tegas, dan xenophobia yang dialami masyarakatnya. Apalagi dengan munculnya kota-kota terdekat dengan talenta dan pasar domestik yang besar, Singapura harus lebih agresif dan berani mengambil risiko untuk memperkuat posisinya sebagai kota startup.




Tokyo, Jepang



Jepang merupakan salah satu pasar yang cukup ‘dewasa’ dan berpengaruh di kawasan ini. Pusat segala aktivitasnya berada di Tokyo. Tapi masa dimana perusahaan besar seperti Hitachi, Sony, Fujitsu, and Panasonic muncul sebagai bintang baru telah berlalu, dan sekarang banyak muncul perusahaan baru seperti GREE, DeNA, dan Rakuten yang mulai berpengaruh dan bergerak secara global. Kalau kalian ingin mendapatkan gambaran singkat ekosistem startup Jepang, silakan kunjungi situs rekan kami di TheBridge dan Anda akan melihat ekosistem bisnis, VC, dan inkubator yang segar.

Selain kesuksesan besar dari startupnya, sistem pendidikan di Jepang sangat mendukung, dengan adanya inkubator seperti Open Network Lab. Anda dapat melihat daftar lengkap inkubator dan akselerator di Jepang di sini.

Di sisi lain, masalah yang dihadapi startup Jepang cukup sulit: kultur yang berisiko rendah, harga sewa yang mahal, dan ekosistem yang kecil. Tapi terlepas dari hal ini, Jepang mendapat kesuksesan besar dan pemerintahnya sangat mendukung startup dengan membantu menyediakan inkubator yang jumlahnya sekitar 300 di seluruh negara ini.



Beijing dan Shanghai, China



China mungkin mempunyai industri web yang mapan, tapi negara tersebut masih sulit dijamah untuk startup China. Tidak seperti Singapura, pemerintah China kurang mendukung ekosistem startup, dan terdapat banyak perusahaan web di sana yang dengan mudah dan cepat bisa meniru produk utama para startup. Bahkan, lebih besar kemungkinan startup Anda ditiru daripada diakuisisi. Saat ini, aplikasi pemesanan taksi sedang bermunculan – tapi kemudian otoritas mulai mengatur atau bahkan melarang aplikasi ini di beberapa kota. Apa lagi yang startup bisa lakukan? Tidak ada.

Sisi baiknya, ada ekosistem startup yang luar biasa mulai dari startup tahap ide hingga yang sudah memiliki pendanaan besar. Acara startup seperti Startup Weekend dan Barcamp sangat sering diselenggarakan di kota seperti Beijing, Shenzhen, dan Shanghai. Akan bagus jika kompetisi startup juga diselenggarakan (seperti TechCrunch Disrupt atau acara Startup Asia kami) untuk memberi startup lokal dorongan visibilitas, seperti dorongan finansial untuk pemenang. Acara tahunan GMIC Beijing sudah melakukan hal ini, tapi lebih banyak presentasi dan kompetisi tentunya akan semakin bagus.

Terkait pendanaan, banyak pihak yang tertarik untuk melakukan investasi di China. Bidang e-commerce tampaknya mendapat ketertarikan yang terbesar, dengan banyaknya perusahaan seperti Sequoia Ventures, GGV Capital, hingga Bluerun Ventures dari California tertarik pada e-store yang inovatif. Ranah sosial menjadi area yang paling sulit – sulit untuk dimonetasi tapi mudah untuk ditiru – bagi semua orang (kecuali beberapa orang yang beruntung). Dengan nilai e-commerce di China yang mencapai USD 177 miliar pada tahun 2013, tidak heran jika banyak startup yang ingin mencoba ranah bisnis negara ini.

Terkait inkubasi dan akselerasi, Innovation Works yang didirikan oleh Lee Kaifu adalah yang terbesar, dengan menginkubasi lebih dari 50 startup yang diperkirakan berharga senilai lebih dari USD 600 juta.

Innovation Works dapat memberikan pendanaan seri A dan juga pendanaan tahap awal. Selain itu, ada Tisiwi di Hangzhou, dan Chinaccelerator di Dalian.



Kuala Lumpur, Malaysia



Dengan adanya usaha yang dilakukan pemerintah Malaysia di bawah Barisan Nasional untuk bersama-sama mendorong Malaysia sebagai negara yang memiliki pendapatan tinggi, teknologi akan berperan penting di Economic Transformation Program (ETP) yang dicanangkan oleh PM keenam Malaysia, Najib Razak.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, startup telah menerima bantuan pendanaan yang tersedia melalui banyak skema yang dibuat oleh agensi pemerintahan dan juga VC swasta. Salah satu contohnya adalah dana Cradle, dimana bantuan disediakan melalui dana komersialisasi yang disalurkan ke program technopreneur program mentor. Ada juga program untuk UKM yang menyediakan dana yang cocok, selain dana tahap tahap awal yang konvensional.

Selain dana tahap awal yang konvensional, kompetisi developer juga dibuat, dimana teknopreneur akan beradu satu sama lain dan ide dan konsep yang menang akan menerima dana dan kontrak dari perusahaan teknologi tertentu. Pada dasarnya, kompetisi ini mirip dengan hackathon plus inkubasi. Kompetisi ini dilakukan dengan banyak universitas yang menyediakan fasilitas bagi startup yang berminat. Dulunya, korporasi dan perusahaan telekomunikasilah yang menyelenggarakan acara ini.

Salah satu dari banyak startup sukses terbaru di Malaysia adalah TeratoTech yang memenangkan banyak penghargaan untuk desain dan spesialisasi aplikasi mobile untuk iOS dan Android.
Secara keseluruhan, ekosistem startup di negara ini cukup menjanjikan dengan bantuan yang tersedia bagi teknopreneur yang ingin menjadikan Malaysia sebagai tempat masa depannya.



Taipei, Taiwan



Taipei merupakan salah satu ekosistem startup yang paling menggeliat di Asia. Ada mailing list Startup Digest Taipei dimana orang-orang membuat post tentang acara startup, dan Anda melihat workshop, forum, dan meetup diadakan di sepanjang minggu. Di Stop by Meet yang diselenggarakan oleh majalah Business Next, atau TO Mixer oleh TechOrange, dua dari acara startup terkenal di Taipei, Anda bisa melihat ratusan founder yang dengan semangat bertukar ide startup mereka. Acara demo juga sering diselenggarakan. IDEAS Show yang diselenggarakan oleh Institute of Information Industry dan Meet Conference oleh Business Next diadakan tiap tahun dan diikuti oleh puluhan startup.

Sementara startup internet yang lebih sukses seperti Lativ, Gamesofa, Mayuki, PubGame, i-Part, dan Bahamut menjalankan bisnis mereka dengan puluhan hingga ratusan karyawan dan menghasilkan angka penjualan senilai puluhan juta dolar, startup kecil memulai perusahaannya hanya dengan beberapa founder di co-working space atau akselerator startup. IEH adalah co -working space terkemuka di negara ini dengan menampung lebih dari 20 startup, sedangkan akselerator AppWorks menampung lebih dari 50  startup.

Terkait investasi, investor yang aktif adalah CyberAgent Ventures, AppWorks Ventures, CID Group, dan TMI Holdings. Para VC lokal  mengalirkan dana hampir USD 100 juta untuk ekosistem teknologi di negara ini setiap tahunnya, mendanai 30 sampai 50 startup mulai dari pendanaan tahap awal hingga pendanaan pada tahap pra-IPO.

Peraturan terkait perusahaan dan keamanan yang tidak diperbaharui, kurangnya pemahaman pemerintah Taiwan terhadap bisnis berbasis internet, dan kegagalan mengenali web sebagai platform industri penting dan strategis bisa menghambat startup lokal dan para founder.

Di Taiwan, layanan solusi pembayaran pihak ketiga yang sebanding dengan paypai atau Alipay belum bisa dioperasikan, dan ini dapat menghambat kemampuan e-commerce dan industri konten digital untuk mengumpulkan uang dan juga melindungi penjual dan pembeli dari penipuan. Pemerintah Taiwan juga mewajibkan tujuh hari kebijakan pengembalian untuk e-commerce dan produk konten digital yang dijual oleh retailer online. 

Tujuh hari mungkin terlalu lama untuk game mobile atau e-book yang akan “dicoba” sebelum calon pembeli memutuskan apakah mereka ingin mengembalikannya, tapi mungkin terlalu pendek untuk produk fisik – seperti Zappos yang menawarkan 360 hari pengembalian untuk sepatu yang dijualnya. Aturan yang kaku seperti ini menunjukkan kurangnya pemahaman pemerintah Taiwan terhadap bisnis berbasis internet. Dan di Taiwan, sebagian besar founder startup berurusan dengan pemerintah daerah terkait berbagai masalah, yang akhirnya memperlambat perkembangan startup di Taiwan.



Hong Kong, China



Menurut Forbes, Hong Kong dinilai sebagai salah satu dari empat pusat dunia teknologi yang layak untuk diamati setelah Silicon Valley dan New York. Terlepas dari kurangnya ekosistem startup di Hongkong, fokus ekonomi Hong Kong yang cenderung ke industri tradisional seperti real estate, kurangnya investor teknologi, dan kurangnya bakat ilmu komputer dari lulusan universitas lokal, budaya startup Hong Kong sedang memanas.

Dalam dua hingga tiga tahun terakhir, co-working space seperti CoCoon, The Hive Hong Kong, The Good Lab, dan BootHK bermunculan untuk memfasilitasi pakar teknologi asing. Inkubator startup seperti Startup Weekend, AcceleratorHK, Make A Difference Venture Fellows Program, the Hong Kong Science and Technology Park Incubation Program, dan StartupsHK mencoba membawa Hong Kong menuju arah yang tepat dalam mempromosikan entrepreneurship.

Selanjutnya, tentu saja, Hong Kong harus mengembangkan ekosistem entrepreneurship yang sehat untuk ditinggali startup dan investor, dengan demikian industri startup akan tumbuh secara alami. Jadi pertanyaan besarnya adalah ‘bagaimana’?



Seoul, Korea Selatan



ekosistem startup Korea Selatan telah mengalami pertumbuhan yang luar biasa dalam lima tahun terakhir, tidak hanya bagi perusahaan tapi juga akselerator dan VC. Melihat sekilas ekosistem startup di negara ini, ada dua alasan utama yang mendorong pertumbuhan tersebut.

Pertama, bermunculannya startup yang sukses telah menarik perhatian masyarakat dan menginspirasi entrepreneur muda. Forbes membuat daftar orang terkaya di Korea, dan daftar tersebut kebanyakan didominasi oleh founder perusahaan game miliaran dollar. Perusahaan seperti TicketMonster, Kakao (pembuat KakaoTalk) dan Coupang telah menunjukkan kekuatan tidak hanya dalam segi finansial, tapi juga menembus segmen masyarakat yang lebih luas dengan produk mereka. Tahun lalu, pengaruh komunitas startup semakin melekat di benak publik ketika Ahn Chul Soo, pendiri perusahaan anti-virus Ahnlab, ingin menduduki kursi tertinggi pemerintahan.

Kedua, pemerintah Korea telah menunjukkan dukungan yang luar biasa kepada komunitas startup, sebuah tren yang tampaknya akan terus berlanjut setelah pemilihan presiden baru-baru ini. Ahn pada akhirnya kalah, dan Korea memilih presiden perempuan pertamanya, Park Geun Hye, yang berjanji meningkatkan pendanaan perusahaan dalam kampanyenya.

Takut gagal dan karakteristik budaya lain di perusahaan Korea bisa menjadi hambatan untuk berkembang secara global, dan ini menjadi  tantangan bagi startup Korea. Tapi konglomerat seperti Samsung, perusahaan game seperti Nexon, dan band K-pop seperti Big Bang telah mengalami hambatan serupa sebelum akhirnya berhasil memperkenalkan nama Korea di seluruh dunia. Dengan adanya startup yang sukses dan dukungan dari pemerintah, kita bisa melihat hal yang sama juga akan terjadi pada para founder startup.



Jakarta, Indonesia



Ketika saya berada di konferensi teknologi, seseorang bertanya apakah startup saya telah menghasilkan uang. Saya menjawab, “Tentu. Jika tidak, saya tidak akan bisa membiayainya!” Hal ini juga menjelaskan bahwa di Indonesia, masih banyak startup yang mandiri. Kami menggunakan uang pribadi sebagai pendanaan awal, lalu kami membangun startup dan harus menghasilkan uang dari hari pertama untuk bertahan. Tidak ada dana dari pemerintah untuk startup, jadi startup di Indonesia kebanyakan praktis, seperti e-commerce, travel, dan logistik. Inovasi adalah sesuatu yang kami pikirkan belakangan.

Pada tahun 2010, sekitar sekitar 30 founder startup berkumpul di Starbucks untuk mendiskusikan startup mereka dan secara mengejutkan ini adalah momentum paling penting bagi ekosistem startup di Indonesia. Pertemuan ini menjadi reguler dengan topik yang spesifik; karena dimulai dari Twitter, organisasi ini diberi nama #StartupLokal. Natali Ardianto, Nuniek Tirta dan saya sendiri mengorganisir pertemuan ini setiap bulannya. Sekarang ada lebih dari 200 orang yang hadir di tiap meetup dan ribuan orang berlangganan ke mailing list kami.

Ini adalah saat yang bagus bagi startup di Indonesia karena secara politik negara ini stabil dan kebebasan berpendapatnya dijunjung tinggi, taraf hidup masyarakat kelas menengah mulai meningkat (45 juta orang di Indonesia mempunyai daya beli yang tinggi), tingkat penetrasi mobile yang sangat tinggi (orang Indonesia rata-rata memiliki lebih dari dua handphone); kami juga punya pengguna Facebook dan Twitter yang aktif. Aset terpenting kami adalah lebih dari 60 persen dari 240 juta penduduk Indonesia berumur di bawah 35 tahun dengan rata-rata berusia 28 tahun dan tersebar di lebih dari 17.000 pulau di Indonesia. Ini adalah negara yang mempunyai banyak ruang untuk dijelajahi dan banyak masalah untuk dipecahkan, yang berarti banyak kesempatan bagi para entrepreneur.

Semakin banyak investor dari seluruh dunia datang ke Indonesia dan juga semakin banyak inkubator tersedia, dan mereka siap untuk berinvestasi. Tapi kebanyakan dari mereka menemui kesulitan untuk menemukan startup yang mempunyai mimpi satu juta dolar. Jadi, PR bagi startup di Indonesia sekarang adalah mengubah pola pikir yang biasa, bermimpi tinggi, dan berpikir global.

Sudah ada beberapa investor di Indonesia saat ini, seperti Merah Putih Incubator, GDP Venture, East Ventures, GREE Ventures, Grupara, Ideosource, dan CyberAgent Ventures.



Bangkok, Thailand



Ledakan ekosistem startup di Bangkok tahun lalu dapat dikarakteristikkan dengan tiga tren yang berkaitan. Pertama adalah momentum yang dibangun oleh acara teknologi sejak beberapa tahun terakhir melalui BarCamp, Mobile Monday, dan Startup Weekend. Event dan cerita sukses ini dibagikan oleh entrepreneur lokal maupun asing.

Kedua, mulai bermunculannya co-working space menarik untuk diamati. Saat ini ada beberapa co-working space yang bagus di seluruh bangkok, dan mereka membantu menghubungkan entrepreneur dengan developer dan freelancer di industri ini.
Yang terakhir, munculnya VC dan kelompok angel bisnis, termasuk ekspansi dari perusahaan yang berbasis di negara Asia lain. Salah satu yang paling menonjol adalah InVent milik Intouch yang juga mengoperasikan perusahaan telekomunikasi terbesar di Thailand, dan Ardent Capital milik investor Ensogo yang dijual ke LivingSocial.

Kelemahan ekosistem startup di negara ini adalah kurangnya keberagaman. Terakhir saya cek ada lebih dari 10 perusahaan bersaing dalam aplikasi loyalti, dan tiruan group buying yang tak terhitung jumlahnya. Seiring semakin dewasanya ekosistem di negara ini, sebagian energi tersebut akan disalurkan ke ranah yang kurang mendapat perhatian. Sebagaimana Tel Aviv, yang terkenal dengan kemacetan lalu lintas, melahirkan Waze, sebuah aplikasi navigator dengan data lalu lintas yang di-crowdsource.

Bangkok adalah rumah bagi jutaan pemilik smartphone dan lebih dari 18 juta pengguna media sosial dari pengguna web yang berjumlah 25 juta. Dan seiring tumbuhnya generasi digital native yakni populasi yang lebih muda, pasti akan ada banyak ide baru terkait bagaimana orang-orang berbelanja, bepergian, dan tetap terhubung.

  




Sumber : Owunik . blogspot . com - yang unik, emang asyik :)


KOTAK KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

INFormasi... Gak Basii...

infosihh.blogspot.com

Mobile | Lintas.me
sansanichsan71@gmail.com
Back to Top
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...