Beberapa
tahun belakangan banjir kerap melanda Desa Gumantar, Kayangan, Lombok
Utara, Nusa Tenggara Barat. Setiap hujan deras mengguyur kawasan ini,
air sungai selalu meluap dan menggenangi pemukiman warga. Salah satu
penyebabnya, karena hutan sudah mulai lengang dari pepohonan yang
menyerap bibit air.
Dalam
kondisi seperti ini, pranata sosial masyarakat sangat penting dalam
menjaga kondisi hutan yang sudah mulai terancam. Seperti halnya, kampung
adat di Dusun Beleq, Desa Gumantar, Kayangan, Lombok Utara. Masyarakat
di kampung ini memiliki kearifan lokal untuk menjaga kelestarian alam.
Mereka memiliki aturan-aturan adat yang melarang warga menebang pohon di
hutan adat milik komunitas mereka.
"Kami
punya awik-awik (Peraturan Adat), bagi warga yang memotong pohon di
hutan adat akan dihukum secara adat," kata Raden Jumedal, Tokoh Adat
setempat dalam perbincangan dengan VIVAnews beberapa waktu lalu.
Di
kampung adat Beleg ini hanya terdapat 90 kepala keluarga yang tinggal.
Komplek adat tersebut terdapat 36 rumah yang masih sangat tradisional.
Rumah-rumah mereka bertiang kayu dengan dinding gedeg dan beratapkan
lontar. Komunitas adat ini masih menjaga kelestarian rumah mereka. Tidak
memiliki listrik, bila malam tiba, rumah mereka hanya diterangi cahaya
obor.
200
meter dari kampung itu, terdapat hutan adat seluas 7,5 hektar. Hutan
ini hanya dijaga dengan aturan-aturan adat, agar tidak ditebangi
pohonnya oleh warga. Untuk kebutuhan hidupnya, mereka bertani, ladang
jagung, jambu mete, coklat dan lainnya.
Ia
menjelaskan, jika ada warga yang menebang pohon akan ditangkap dan
disidang di majelis adat. Kemudian dihukum sesuai pelanggaran yang
dilakukan oleh tersangka. Mulai dari hukuman berat, sedang dan ringan.
"Hukuman
ringannya didenda seekor kambing, seekor ayam dan satu kuintal beras.
Denda itu untuk warga kampung, dimakan beramai-ramai," terangnya.
Komunitas
yang mayoritas muslim itu, juga memiliki tempat sakral disebut Pegalan.
Tempat ini juga terbuat dari kayu dan beratapkan daun lontar, digunakan
untuk berdoa berjamaah meminta kepada yang Maha Kuasa agar dijauhi dari
bencana.
"Kalau
hujan deras berhari-hari yang menyebabkan banjir dan longsor, kami
berdoa di sini dengan semua warga. Supaya pertanian tidak rusak,"
tuturnya.
Selain
itu, untuk menjaga keselarasan dengan alam, setiap peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW, mereka mengeluarkan benda pusaka warisan nenek
moyangnya. Pusaka itu berupa sejumlah gamelan dan sebuah Gong, kemudian
dibawa ke hutan adat untuk dibersihkan menggunakan air sumur. Setelah
itu mereka memainkan gamelan dan gong mulai malam hingga esok paginya.
"Gamelan dan Gong dipukul saat maulid adat (Maulid Nabi Muhammad SAW). Dikeluarkan saat gerhana bulan," katanya. (one)
KOTAK KOMENTAR
|