Letusan katastrofik meremukkan hampir segenap pulau Krakatau menjadi abu dan mengambrukannya ke dasar laut seiring terbentuknya kaldera berkedalaman 250 meter dari permukaan laut, kecuali bagian kecil di sudut tenggaranya yang kini menjadi pulau Rakata. Letusan menyemburkan sedikitnya 20 kilometer kubik magma setara batuan dengan sekitar 40 % diantaranya disemburkan menjadi debu vulkanis hingga setinggi 40 km. Ambruknya tubuh gunung disertai hembusan debu dan gas dari dapur magmanya tak hanya menyebabkan terjadinya letusan vertikal yang membumbungkan debu vulkanis hingga sangat tinggi.
Namun juga terjadi letusan horizontal (lateral), dimana debu vulkanis dan gas bersuhu sangat tinggi ditembakkan sebagai awan panas, yang melaju dengan kecepatan tinggi secara mendatar khususnya ke utara. Ketimbang (kini Katibung, kaki Gunung Rajabasa, Lampung) menjadi saksi betapa awan panas produk letusan horizontal Krakatau menderu hingga tiba di sini, setelah meluncur sejauh 40 km menyeberangi Selat Sunda. Sekitar 1.000 orang tewas terpanggang di sini. Namun lebih banyak lagi yang terbantai tsunami. Angka resmi yang dilansir pemerintah kolonial Hindia Belanda menyatakan letusan Krakatau menelan korban jiwa hingga 36.417 orang. Namun jumlah sesungguhnya diperkirakan lebih besar dari itu, bahkan ada dugaan korban jiwa letusan menyentuh angka 120.000 orang.
BONILLA
Tetapi
selain petaka letusan katastrofik Gunung Krakatau, Bumi pada Agustus
1883 sebenarnya juga nyaris berhadapan dengan petaka kosmik lainnya,
yang datang dari langit. Dan berbeda dengan letusan Krakatau, petaka
kosmik ini JUTAAN kali lipat lebih berenergi dan sanggup menghapus
kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di muka Bumi, andai
benar-benar terjadi.Dua minggu sebelum puncak letusan Krakatau, tepatnya pada Senin 12 Agustus 1883, Jose Bonilla (1853-1920) sedang melaksanakan tugas rutin hariannya di Observatorium negara Bagian Zacatecas (Meksiko) saat mata tajamnya menangkap sesuatu yang tak biasa. Sejak pukul 08:00 lokal mendadak terjadi antara benda langit tak dikenal dengan Matahari. Saat itu di latar depan cakram Matahari melintas sejumlah bintik hitam kecil dengan masing-masing bintik bergerak cukup cepat sehingga hanya melintas selama 1/3 hingga 1 detik. Dan masing-masing bintik terlihat berselimut kabut abu-abu yang asimetrik, karena lebih menonjol di satu sisinya. Bila latar belakangnya adalah cakram Matahari, bintik-bintik tersebut nampak gelap. Namun jika latar belakangnya adalah area gelap (selepas dari latar depan Matahari), maka bintik-bintik itu nampak bersinar terang. Secara akumulatif Bonilla mencatat 447 bintik hitam melintas di hari itu dengan jumlah rata-rata 131 bintik perjam. Beberapa diantaranya berhasil diabadikan dalam pelat fotografis, teknologi yang tergolong baru untuk masa itu, dengan bukaan rana 1/100 detik. Berselang 2,5 tahun kemudian tepatnya pada 1 Januari 1886, Bonilla menuliskan hasil pengamatannya pada majalah L'Astronomie, dimana bintik-bintik hitam misterius itu terakhir kali teramati pada 13 Agustus 1883 pukul 09:00 lokal.
Namun, 128 tahun kemudian muncul penjelasan berbeda yang sama sekali baru. Dengan mengacu dinamika yang terjadi pada komet khususnya tatkala menjalani tahap fragmentasi seperti yang misalnya dialami komet Schwassmann-Wachmann 3, maka bintik-bintik hitam tersebut kemungkinan besar merupakan komet besar yang terfargmentasi (terpecah-belah) menjadi ribuan keping akibat gaya eksternal. Tidak berlebihan jika bintik-bintik hitam tersebut dinamakan sebagai komet Bonilla, sesuai dengan tata nama yang berlaku.
KOTAK KOMENTAR
|