Eva Braun, Setia Sampai Maut Menjemput di Sisi Hitler -
"Ada dua cara menilai karakter laki-laki. Pertama, lihatlah siapa perempuan yang dinikahinya. Kedua, lihatlah cara dia mati," kata Adolf Hitler.
Hitler menikahi Eva Braun pada 28 April 1945. Sekitar 36 jam kemudian, Eva menenggak kapsul sianida, Hitler menembak kepalanya sendiri. Mereka ada di sebuah bunker di Berlin. Di luar, pasukan Uni Soviet merangsek maju.
Eva pertama kali bertemu Hitler pada Oktober 1929. Saat itu, ia berusia 17 tahun, berambut pirang dan berwajah manis. Tubuhnya ramping. Ia anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Katolik Roma di Munich, Jerman. Ia suka menari, senam, novel-novel romantis, dan...film-film Hollywood.
Lulus sekolah menengah, Eva bekerja sebagai asisten Heinrich Hoffman, seorang fotografer Partai Nazi. Lantaran pekerjaan ini ia bisa berjumpa Hitler yang saat itu telah menginjak 40 tahun.
Hoffman mengenang, di momen pertama itu, di mata Eva, Hitler adalah, "Pria matang dengan kumis lucu dan mengenakan topi besar." Ketika itu Hitler masih menjalin cinta dengan kemenakannya sendiri, Geli Raubal.
Hitler mulai melirik Eva setelah Geli Raubal meninggal dunia karena bunuh diri. Konon, Eva pas dengan sosok ideal perempuan di mata Hitler: sederhana, non-politis, tipikal perempuan rumahan. "Seorang laki-laki pintar akan memilih perempuan bodoh. Bayangkan jika ia memiliki perempuan yang gemar merecoki pekerjaannya," kata Hitler.
Hidup bersama sejak 1932 tapi Hitler dan Eva tak pernah muncul di depan publik bersama-sama. Eva hanya diperkenalkan kepada teman-teman dekat Hitler dan para petinggi Nazi.
Eva bersama adiknya, Gretel.
Ketika mereka mulai menjalin cinta, pria itu belum berkuasa. Baru pada 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Ia lantas menghimpun kekuatan, mewujudkan mimpi menciptakan Jerman yang perkasa di Eropa, bahkan dunia.
Kemiskinan yang melanda Jerman membuat pikiran politik Hitler, yang sering disebut sebagai fasisme, gampang diterima. Negara harus kuat, demokrasi hanya mainan para politisi yang doyan omong tapi tak menciptakan kemakmuran.
Lalu, kemunculan komunisme di Rusia dijadikan musuh bersama. Kaum Yahudi diplot sebagai pembikin kesengsaraan--karena itu mesti dimusnahkan. Bertahun-tahun kemudian, berdirinya sejumlah kamp konsentrasi menjadi bukti bahwa Hitler tak cuma gertak sambal.
Namun, ambisi Hitler ternyata jauh panggang dari api. Saat 1945 datang, tanda-tanda kekalahan Jerman terlihat. Eva selalu bersama Hitler.
Belakangan, terungkap bahwa Eva menulis sejumlah surat di hari-hari terakhir hidupnya. Surat pertama bertanggal 19 April 1945. Ditulis dari bunker persembunyian, Eva mengaku, "Bahagia bersama Hitler."
"Aku yakin semua akan kembali seperti semua, baik-baik saja," tulis Eva.
Namun, tiga hari kemudian, ketika tentara Uni Soviet merebut Berlin, Eva mengaku khawatir. Dalam surat kedua bertanggal 22 April 1945, ia menulis, "Kami berjuang di sini hingga titik darah penghabisan. Tapi aku takut, hari akhir makin dekat," tulis Eva.
Toh, ia juga menulis, dirinya sedang bersiap untuk mati, kapan pun maut menjemput.
Eva dan Hitler usai makan bersama.
Setelah percobaan pembunuhan atas Hitler pada 20 Juli 19944, Eva menyatakan akan menemani Hitler sampai kapan pun. "Sejak pertama kali bertemu, aku bersumpah akan senantiasa mengikutimu, bahkan saat kematian datang. Aku hidup demi cintamu," tulisnya dalam sebuah surat untuk Hitler.
Pertanyaan yang kerap terlontar: apa yang membuat Eva tergila-gila pada Hitler padahal ia apolitis?
Banyak sejarawan menulis perempuan itu tak memainkan peran dalam kancah politik. Eva selalu diminta pergi saat pembicaraan politik digelar Hitler dan teman-temannya. Eva juga tak pernah menjadi anggota Partai Nazi.
Namun, penulis Eva Braun: Life With Hitler (2010), Heike Gortemaker, menyebut sejumlah bukti bahwa Eva hadir pada sejumlah pertemuan Hitler dan para petinggi Nazi.
"Gambaran bahwa dia selalu digambarkan sebagai si pirang bodoh yang mengalami nasib sial karena jatuh cinta dengan iblis perlu dikoreksi," kata Gortemaker seperti dikutip The Guardian.
Menurut temuan Gortemaker, Eva sepenuhnya memahami liku-liku kebijakan Nazi, pun tidak berusaha untuk berbicara menentang Holocaust. "Ia tahu apa yang terjadi. Ia bukan sekadar penonton," ujarnya. (Yus)
Eva dan Hitler di Berghof, kediaman mereka.
Hitler menikahi Eva Braun pada 28 April 1945. Sekitar 36 jam kemudian, Eva menenggak kapsul sianida, Hitler menembak kepalanya sendiri. Mereka ada di sebuah bunker di Berlin. Di luar, pasukan Uni Soviet merangsek maju.
Eva pertama kali bertemu Hitler pada Oktober 1929. Saat itu, ia berusia 17 tahun, berambut pirang dan berwajah manis. Tubuhnya ramping. Ia anak kedua dari tiga bersaudara keluarga Katolik Roma di Munich, Jerman. Ia suka menari, senam, novel-novel romantis, dan...film-film Hollywood.
Lulus sekolah menengah, Eva bekerja sebagai asisten Heinrich Hoffman, seorang fotografer Partai Nazi. Lantaran pekerjaan ini ia bisa berjumpa Hitler yang saat itu telah menginjak 40 tahun.
Hoffman mengenang, di momen pertama itu, di mata Eva, Hitler adalah, "Pria matang dengan kumis lucu dan mengenakan topi besar." Ketika itu Hitler masih menjalin cinta dengan kemenakannya sendiri, Geli Raubal.
Hitler mulai melirik Eva setelah Geli Raubal meninggal dunia karena bunuh diri. Konon, Eva pas dengan sosok ideal perempuan di mata Hitler: sederhana, non-politis, tipikal perempuan rumahan. "Seorang laki-laki pintar akan memilih perempuan bodoh. Bayangkan jika ia memiliki perempuan yang gemar merecoki pekerjaannya," kata Hitler.
Hidup bersama sejak 1932 tapi Hitler dan Eva tak pernah muncul di depan publik bersama-sama. Eva hanya diperkenalkan kepada teman-teman dekat Hitler dan para petinggi Nazi.
Eva bersama adiknya, Gretel.
Ketika mereka mulai menjalin cinta, pria itu belum berkuasa. Baru pada 1933, Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman. Ia lantas menghimpun kekuatan, mewujudkan mimpi menciptakan Jerman yang perkasa di Eropa, bahkan dunia.
Kemiskinan yang melanda Jerman membuat pikiran politik Hitler, yang sering disebut sebagai fasisme, gampang diterima. Negara harus kuat, demokrasi hanya mainan para politisi yang doyan omong tapi tak menciptakan kemakmuran.
Lalu, kemunculan komunisme di Rusia dijadikan musuh bersama. Kaum Yahudi diplot sebagai pembikin kesengsaraan--karena itu mesti dimusnahkan. Bertahun-tahun kemudian, berdirinya sejumlah kamp konsentrasi menjadi bukti bahwa Hitler tak cuma gertak sambal.
Namun, ambisi Hitler ternyata jauh panggang dari api. Saat 1945 datang, tanda-tanda kekalahan Jerman terlihat. Eva selalu bersama Hitler.
Belakangan, terungkap bahwa Eva menulis sejumlah surat di hari-hari terakhir hidupnya. Surat pertama bertanggal 19 April 1945. Ditulis dari bunker persembunyian, Eva mengaku, "Bahagia bersama Hitler."
"Aku yakin semua akan kembali seperti semua, baik-baik saja," tulis Eva.
Namun, tiga hari kemudian, ketika tentara Uni Soviet merebut Berlin, Eva mengaku khawatir. Dalam surat kedua bertanggal 22 April 1945, ia menulis, "Kami berjuang di sini hingga titik darah penghabisan. Tapi aku takut, hari akhir makin dekat," tulis Eva.
Toh, ia juga menulis, dirinya sedang bersiap untuk mati, kapan pun maut menjemput.
Eva dan Hitler usai makan bersama.
Setelah percobaan pembunuhan atas Hitler pada 20 Juli 19944, Eva menyatakan akan menemani Hitler sampai kapan pun. "Sejak pertama kali bertemu, aku bersumpah akan senantiasa mengikutimu, bahkan saat kematian datang. Aku hidup demi cintamu," tulisnya dalam sebuah surat untuk Hitler.
Pertanyaan yang kerap terlontar: apa yang membuat Eva tergila-gila pada Hitler padahal ia apolitis?
Banyak sejarawan menulis perempuan itu tak memainkan peran dalam kancah politik. Eva selalu diminta pergi saat pembicaraan politik digelar Hitler dan teman-temannya. Eva juga tak pernah menjadi anggota Partai Nazi.
Namun, penulis Eva Braun: Life With Hitler (2010), Heike Gortemaker, menyebut sejumlah bukti bahwa Eva hadir pada sejumlah pertemuan Hitler dan para petinggi Nazi.
"Gambaran bahwa dia selalu digambarkan sebagai si pirang bodoh yang mengalami nasib sial karena jatuh cinta dengan iblis perlu dikoreksi," kata Gortemaker seperti dikutip The Guardian.
Menurut temuan Gortemaker, Eva sepenuhnya memahami liku-liku kebijakan Nazi, pun tidak berusaha untuk berbicara menentang Holocaust. "Ia tahu apa yang terjadi. Ia bukan sekadar penonton," ujarnya. (Yus)
Eva dan Hitler di Berghof, kediaman mereka.