Premium Bakal Hilang dari Indonesia...?? -
Indonesia menjadi satu-satunya negara yang masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dengan spesifikasi RON 88 atau biasa disebut premium. Dalam beberapa waktu lagi, peredaran BBM RON 88 tidak akan ada lagi dalam peredaran di Indonesia.
Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri mengatakan telah mengeluarkan rekomendasi dan telah disampaikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said pada Jum’at kemarin untuk menghentikan impor BBM dengan RON 88. "Selain menghentikan impor RON 88, juga akan dihentikan impor untuk solar dengan sulfur 0,35 persen," ujarnya dalam konferensi pers mengenai rekomendasi Tim Tata Kelola Migas di kantor kementerian ESDM, Minggu (21/12/2014).
Dengan penghentian impor kedua jenis bahan bakar tersebut, maka akan digantikan dengan impor BBM RON 92 dan solar dengan sulfur 0,25 persen.
Faisal juga mengatakan rekomendasi tersebut meminta agar produksi kilang domestik dialihkan dari produksi bensin RON 88 menjadi bensin dengan RON 92. Menurutnya, harga indeks pasar yang digunakan dalam menghitung harga patokan bensin RON 88 didasarkan pada benchmark harga yang bias. "Faktor pengali dalam formula perhitungan harga indeks pasar berdasarkan data masa lalu yang relatif lama sehingga tidak mencerminkan kondisi terkini," ucap dia.
Dia menjelaskan bahwa faktor pengali untuk mendapatkan harga indeks pasar bensin premium berdasarkan penetapan di tahun 2007. Selama ini, ada keharusan mencampur bensin impor sehingga spesifikasinya sama dengan RON 88. "Blending dilakukan lewat penambahan naptha dengan persentase tertentu pada bensin yang kualitasnya lebih tinggi sehingga spesifikasinya sama dengan RON 88. Sehingga blending untuk mendapatkan RON 88 dapat lebih mahal dari harga bensin dengan kualitas lebih tinggi," tuturnya.
Kemudian, pada kondisi seperti itu, lanjut Faisal, importir akan menghindari blending, penjual memasok bensin dengan kualitas lebih tinggi daripada spesifikasi yang dipesan. Kemungkinan lain adalah pencampurannya tidak menggunakan RON 92, tetapi bisa menggunakan bensin dengan oktan lebih rendah. "Bagi pihak pencampur, jenis RON apapun akan dijadikan campuran asalkan menghasilkan spesifikasi RON 88 sesuai pesanan," tukasnya.
Pertimbangan lain tim agar impor RON 88 dihentikan adalah karena Indonesia merupakan pembeli tunggal bensin RON 88 di dunia. Bahkan, volume pembelian RON 88 oleh Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan transaksi RON 92 di Asia Tenggara. "Meskipun merupakan pembeli tunggal, tetapi Indonesia tidak memiliki kekuatan dalam pembentukan harga MOPS untuk RON 92 yang menjadi acuan untuk harga bensin RON 88," cetusnya.
Dengan begitu, terbuka peluang terjadinya kartel penjual karena mereka punya peluang menjadi satu-satunya penghasil RON 88 untuk Indonesia. "Kalau kita membeli langsung RON 92, peluang terjadinya kartel kecil karena penjualnya lebih banyak di pasar sehingga lebih kompetitif," katanya.
Tim juga mengeluarkan rekomendasi formula penghitungan harga patokan menjadi lebih sederhana yaitu harga MOPSmogas92 + alpha untuk bensin dengan RON 92 dan harga MOPSgasoil 0,25 persen + alpha untuk minyak solar. Faisal meminta agar dilakukan pembaruan kilang domestik sehingga produksi bensin RON 88 dapat digantikan dengan RON 92. "Kita sudah koordinasi dengan Pertamina. Dan katanya mereka butuh waktu kira-kira 2 bulan. Dan kita beri waktu lima bulan. Proses peralihan bisa dimulai secepat mungkin," ujar dia.
Sementara itu, anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas Darmawan Prasodjo mengatakan kebutuhan BBM baik itu premium ataupun pertamax di Indonesia sebesar 16 juta barel per bulan. Namun, kilang dalam negeri hanya mampu memproduksi 6 juta barel per bulan sehingga masih memerlukan impor sekitar 10 juta per bulan yang didominasi impor premium. Dengan perubahan produksi dari RON 88 menjadi RON 92, maka produksi di dalam negeri akan menurun menjadi 5 juta barel per bulan sehingga impor akan meningkat menjadi 11 juta barel.
"Kita memang dapat pengurangan harga RON 92 ketika membeli RON 88, tetapi pengurangannya tidak banyak dan menjadi tidak efisien karena ada biaya tambahan untuk blending RON 92 menjadi RON 88. Selain itu, lokasi pencampurannya yang berada di luar negeri menambah panjang rantai inefisiensi penggunaan RON 88," ucap dia.
Darmawan mengatakan, kemungkinan nanti akan ada dua harga untuk RON 92, yakni RON 92 bersubsidi dan non subsidi. "Pemerintah berupaya menyediakan energi yang bersih dengan kualitas yang baik. Bahkan harganya bisa sama dengan premium sekarang. Dengan kata lain, harga RON 92 bersubsidi nantinya akan berada di kisaran harga Rp8.500 per liter," katanya.
Ketika dihubungi, Direktur Retail dan Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang mengatakan apabila penghentian impor RON 88 dilakukan saat ini, maka Pertamina belum siap. "Makanya rekomendasi tim reformasi berlaku secara bertahap," cetus Bambang.
Bambang mengatakan, produksi kilang Pertamina untuk RON 92 hanya 200 ribu barel per bulan dan Naphta lebih dari 3,5 juta barel per bulan. "Naphta ini harganya murah sehingga harus diblending dengan RON 92 atau lebih agar bisa menjadi premium. Oleh karena itu, Pertamina masih mengimpor RON 92 atau lebih untuk mengolah Naphta menjadi premium," ujarnya.
Lebih lanjut, Bambang mengatakan apabila RON 88 dihapuskan, maka Pertamina harus mengolah Naphta menjadi RON 92 bahkan lebih. "Inilah yang disiapkan Pertamina melalui proses di TPPI (Trans Pacific Petrochemical Indotama) serta menyiapkan infrastruktur lainnya," tukas dia.
Jika TPPI sudah beroperasi penuh, maka Pertamina bisa memproduksi leih dari 5 juta barel per bulan untuk RON 92. "Ini masih belum dapat memenuhi kebutuhan, sehingga masih perlu impor RON 92. Kebutuhan baru bisa diatasi jika RDMP dan kilang grass root refinery telah beroperasi," kata dia.
Untuk operasional TPPI, menurut Bambang tinggal dibahas antara Pertamina dan pemerintah. "Bisa butuh waktu 3-6 bulan. Tetapi untuk RDMP dan kilang baru butuh 4-6 tahun," tukas dia.
Bambang mengatakan, seharusnya juga dipikirkan kesiapan masyarakat pengguna sepeda motor dan angkutan umum seperti angkot dan mikrolet untuk langsung menggunakan pertamax. Terlebih bila tidak diberikan subsidi untuk pertamax.
"Bila pertamax tidak disubsidi, maka akan terjadi persaingan bebas antara Pertamina dan SPBU lainnya. Pertamina hanya meminta persaingan yang adil," ucapnya.
Keadilan yang dimaksud adalah terkait kewajiban menanggung stok nasional. "Di negara lain ada entry barrier bagi pemain baru untuk bangun infrastruktur dan turut menanggung stok nasional," kata dia.
Dia menyontohkan Thailand, India, dan Malaysia yang telah menerpakan kebijakan entry barrier tersebut. "Itulah sebabnya Pertamina sejak tahun 2007 mengajukan izin membangun SPBU di Sabah dan Serawak yang banyak WNI nya tetapi tidak pernah berhasil," pungkasnya.