Agus Sunyoto
mencatat adanya peristiwa yang luput dari catatan sejarah, yaitu
peristiwa hijrahnya para pengikut Pangeran Diponegoro setelah Diponegoro
ditangkap Belanda. "Ratusan ribu pengikut Diponegoro, sebagian besar
adalah ulama pesantren dan guru tarekat, meninggalkan pusat kekuasaan
kemudian menyebar di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa," ujar Agus,
dari Padepokan Dakwah Kalijaga.
Mereka kemudian mendirikan pesantren-pesantren dan meneruskan perlawanan
secara pasif kepada Belanda. Perlawanan yang disebut Sunyoto sebagai
perlawanan pasif yang masif itu dilakukan dengan cara perang opini lewat
penciptaan cerita tutur, tembang, si'iran, tafsir agama, ramalan, dan sebagainya. Perang opini ini ditujukan untuk memunculkan sikap benci terhadap Belanda.
Makin menguatnya perlawanan lewat lisan ini mendorong Belanda mengutus
jaksa di Kediri untuk menyusun sejarah Kediri. Tugas itu diberikan dua
tahun setelah Diponegoro ditangkap. Jaksa Mas Ngabehi Poerbawidjaja
lantas meminta bantuan dalang wayang krucil Ki Dhermakonda.
Namun. Ki
Dhermakonda mengaku tak mengetahui secara pasti sejarah Kediri sehingga
ia meminta bantuan jin bernama Buto Locaya. Untuk mendengarkan cerita
Buto Locaya, diperlukan tubuh yang bisa dirasuki, yaitu tubuh Ki
Sondong. Jadilah Babad Kediri.
"Maka isi sejarah versi jin itu adalah pendiskreditan terhadap ajaran
Islam, terutama menyangkut para penyebar Islam," ujar Agus.
KOTAK KOMENTAR
|