Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa kepada kalian sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 183)
Puasa merupakan
salah satu bentuk ibadah yang diwajibkan oleh Allah Swt. terhadap
orang-orang yang beriman. Para ahli sejarah banyak yang menyebutkan
permulaan diwajibkannya puasa itu sejak masa Nabi Nuh a.s. bahkan beliau
termasuk orang yang pertama kali melakukan puasa di bulan Ramadhan
setelah beliau keluar dari bahtera setelah sebelumnya terjadi banjir
terbesar sepanjang sejarah ummat manusia. Akan tetapi pendapat yang
lebih diunggulkan adalah yang diriwayatkan oleh Imam Mujahid Bin Jabir,
salah satu ahli tafsir dari generasi tabi’in dan termasuk salah satu
pembesar dari muridnya Ibnu Abbas r.a, yaitu:
أن الله عز وجل كتب صوم رمضان على كل أمة ومعلوم أنه كان قبل نوح عليه السلام أمم وأجيال شغلت الزمان منذ نبي الله آدم عليه السلام
“Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla telah mewajibkan puasa kepada setiap ummat, sedangkan sebagaimana diketahui bahwasannya sebelum Nabi Nuh a.s. telah ada ummat dan generasi dari masa ke masa sejak masa Nabi Adam a.s.”. (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an Karya Imam Al-Qurthubi Juz 2 hal. 274 cetakan Dar Al-Kitab Al-‘Arabi th. 1387 H/1967 M)
Ibadah Puasa
merupakan Ibadah yang sangat khusus keutamaannya jika dibandingkan
dengan ibadah-ibadah yang lain karena besarnya pahala dan keutamaannya
sampai-sampai ibadah puasa tersebut dinisbatkan kepada Allah langsung
sebagaimana hadits qudsi berikut ini :
يقول الله تبارك وتعالى: كل عمل ابن آدم له إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به
“Allah SWT berfirman: Setiap amal anak Adam itu untuk dirinya kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untukKu dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Muslim)
Di satu sisi pbadah
puasa itu lebih selamat dari terjangkit riya’, karena ibadah ini tidak
begitu nampak di hadapan manusia serta menjadi rahasia di antara hamba
dan Tuhannya.
Di sisi lain,
ibadah puasa ini menjadi lebih istimewa jika dibandingkan dengan Ibadah
yang lainnya karena di dalamnya seorang hamba harus menahan diri untuk
tidak makan dan minum, mengekang diri dari godaan hawa nafsu, syahwat
dan kelezatan serta anggota badan pula. Serta mengajari diri ini untuk
menjadi orang yang sabar.
Dalam hal ini Rasulullah meriwayatkan sebuah hadits dari Tuhannya (Hadits Qudsi) :
ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺟﻨﺔ، ﻳﺘﺮﻙ ﺃﻱ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﻃﻌﺎﻣﻪ ﻭﺷﺮﺍﺑﻪ ﻭﺷﻬﻮﺍﺗﻪ ﻣﻦ ﺃﺟﻠﻲ
“Puasa itu adalah tameng, kalian meninggalkan makanan, minuman sertasSyahwat karenaKu.” (HR. Bukhari)
Kemudian, pada bagian lainnya Rasulullah SAW juga bersabda :
ﻣﻦ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﺍﻟﺒﺎﺀﺓ ﻓﻠﻴﺘﺰﻭﺝ، ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻪ ﻭﺟﺎﺀ
Di dalam Puasa juga
terdapat banyak manfaat lain di antaranya adalah menjernihkan pikiran
dan nurani, melembutkan perasaan (sikap empati), membersihkan hati
(jiwa) dari perilaku dan perangai yang jelek. Selain itu pula, puasa
jika ditinjau dari ilmu kedokteran juga menyehatkan badan dan
membersihkannya dari racun-racun yang mengendap di lambung. Sedangkan
manfaat terbesarnya adalah seperti tersebut di awal “Agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”, (QS. Al-Baqarah : 183)
Rasulullah Saw. bersabda:
ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺰﻭﺭ ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﻟﻠﻪ ﺣﺎﺟﺔ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻳﺪﻉ ﻃﻌﺎﻣﻪ ﻭﺷﺮﺍﺑﻪ
ﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺪﻉ ﻗﻮﻝ ﺍﻟﺰﻭﺭ ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻪ ﻓﻠﻴﺲ ﻟﻠﻪ ﺣﺎﺟﺔ ﻓﻲ ﺃﻥ ﻳﺪﻉ ﻃﻌﺎﻣﻪ ﻭﺷﺮﺍﺑﻪ
– Bagaimana Cara Puasa Ummat Terdahulu?
Puasa pada dasarnya
menyimpan banyak hikmah dan maksud tertentu sebagaimana disingkap oleh
Al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas dan sekaligus menjadi landasan
atas diwajibkannya Puasa sebagai bentuk Ibadah kepada Allah terhadap
banyak Ummat manusia. Walaupun dalam Ayat ke 183 Surat Al-Baqarah, Allah
memberikan Isyarat akan kewajiban Puasa terjadap Ummat-Ummat terdahulu,
akan tetapi pada Ayat tersebut di atas tidak menjelaskan secara
gamblang bagaimana cara Puasanya Ummat-Ummat terdahulu, begitu juga
berapa kadar (lama) waktunya dan kapan saja mereka Wajib berpuasa. Yang
diisyaratkan hanya kewajiban Puasa pada Ummat-Ummat terdahulu juga ada
pada Ummat Islam.
Dalam Syariat Islam
banyak hal yang merupakan hal baru yang belum ada pada Ummat-Ummat
terdahulu sejak zaman Nabi Adam a.s. termasuk Syariat Puasa ini yang
caranya tentu tidak serupa terlebih dalam hal pahala dan keutamaannya
untuk Ummat Islam.
Kebanyakan Ahli
Tafsir terhenti dalam masalah ini ketika ingin menyingkap permasalan
tentang seperti apa kesamaan puasa antara Ummat Islam dan Ummat
terdahulu.
Dalam hal ini Imam Ibn Al-‘Arabi menyatakan :
ﺃﻥ ﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﻓﻲ ﺍﻵﻳﺔ
ﺍﻟﻜﺮﻳﻤﺔ ﻣﻘﻄﻮﻉ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺮﻳﻀﺔ ﻭﺃﺻﻞ ﺍﻟﻮﺟﻮﺏ ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻣﺤﺘﻤﻞ ﻓﻲ ﻏﻴﺮ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﺰﻣﻦ
ﻭﺍﻟﻘﺪﺭ ﻭﺍﻟﻜﻴﻔﻴﺔ، ﻓﻘﺪ ﻳﺤﺘﻤﻠﻬﺎ ﺟﻤﻴﻌﺎ ﻭﻗﺪ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺑﻌﻀﺎ ﻣﻨﻬﺎ ﺩﻭﻥ ﻏﻴﺮﻫﺎ، ﺛﻢ
ﺍﺳﺘﺸﻬﺪ ﻟﻜﻞ ﻣﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻻﺣﺘﻤﺎﻻﺕ ﺍﻟﺜﻼﺛﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻵﺛﺎﺭ ﻭﺍﻷﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻟﺼﺤﻴﺤﺔ
ﺍﻟﺪﺍﻟﺔ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ.
“Sesungguhnya
bentuk Tasybih (penyerupaan antara puasa Ummat Islam dengan Ummat
terdahulu) dalam Ayat Al-Qur’an (Surat Al-Baqarah : 183) itu
(informasinya) terbatas hanya pada konteks kewajibannya semata, akan
tetapi masih ada kemungkinan juga dalam Konteks waktu, kadar dan
caranya. Bisa saja kemungkinan (keserupaan) itu terjadi dalam 3 hal
tersebut (waktu, kadar dan cara) semuanya atau sebagian saja. Untuk itu
dalam kemungkinan kesamaan pada 3 hal tersebut masih perlu ditinjau
kembali dalam Perspektif Atsar dan Hadits yang Shahih berkenaan hal
tersebut." (Tafsir Ibn Al-‘Arabi Juz 1 hal. 74)
Akan tetapi
perkataan Imam Ibn Al-‘Arabi bahwasannya keserupaan puasanya hanya pada
batas kewajiban saja dan masih menemui kemungkinan yang lain, maka
sejatinya pendapat ini telah didahului oleh riwayat Ibnu Abbas dan
Mua’adz Bin Jabal dari Generasi Sahabat serta Atho’ dan Adh-Dhohhak dari
Generasi Tabi’in yang menyatakan bahwasannya:
ﺃﻥ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺃﻭﻻ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻷﻣﻢ ﻗﺒﻠﻨﺎ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﻬﺮ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ، ﻭﺯﺍﺩ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ، ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻭﻟﻢ ﻳﺰﻝ ﻫﺬﺍ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ ﻣﻦ ﺯﻣﺎﻥ ﻧﻮﺡ ﺇﻟﻰ ﺃﻭﻝ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺣﺘﻰ ﻧﺴﺦ ﺍﻟﻠﻪ ﺫﻟﻚ ﺑﺼﻴﺎﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻗﺎﻝ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻞ ﻛﺎﻥ ﻧﺴﺨﻪ ﺑﺄﻳﺎﻡ ﻣﻌﺪﻭﺩﺍﺕ ﺛﻢ ﻧﺴﺨﻪ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺍﻟﻤﻌﺪﻭﺩﺍﺕ ﺑﺸﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﻣﻤﺎ ﻗﺎﻟﻮﻩ ﻫﻨﺎ ﺃﻥ ﺻﻮﻡ ﺁﺩﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻛﺎﻥ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺒﻴﺾ ﻭﺻﻮﻡ ﻣﻮﺳﻰ ﻭﻗﻮﻣﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ، ﻭﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺃﻣﺔ ﺻﻮﻡ ﻭﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﺴﻮﻳﺔ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻭﺟﻪ، ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻓﺎﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﻞ ﺍﻟﻮﺟﻮﺏ ﻻ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻭﻻ ﻓﻲ ﺻﻔﺘﻪ ﻭﻻ ﻓﻲ ﺯﻣﻨﻪ.
ﺃﻥ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺃﻭﻻ ﻛﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻷﻣﻢ ﻗﺒﻠﻨﺎ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﻬﺮ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ، ﻭﺯﺍﺩ ﺑﻌﻀﻬﻢ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ، ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻭﻟﻢ ﻳﺰﻝ ﻫﺬﺍ ﻣﺸﺮﻭﻋﺎ ﻣﻦ ﺯﻣﺎﻥ ﻧﻮﺡ ﺇﻟﻰ ﺃﻭﻝ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﺣﺘﻰ ﻧﺴﺦ ﺍﻟﻠﻪ ﺫﻟﻚ ﺑﺼﻴﺎﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻗﺎﻝ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻞ ﻛﺎﻥ ﻧﺴﺨﻪ ﺑﺄﻳﺎﻡ ﻣﻌﺪﻭﺩﺍﺕ ﺛﻢ ﻧﺴﺨﻪ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﺍﻟﻤﻌﺪﻭﺩﺍﺕ ﺑﺸﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻭﻣﻤﺎ ﻗﺎﻟﻮﻩ ﻫﻨﺎ ﺃﻥ ﺻﻮﻡ ﺁﺩﻡ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻛﺎﻥ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺒﻴﺾ ﻭﺻﻮﻡ ﻣﻮﺳﻰ ﻭﻗﻮﻣﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ، ﻭﻛﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺃﻣﺔ ﺻﻮﻡ ﻭﺍﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﻻ ﻳﻘﺘﻀﻲ ﺍﻟﺘﺴﻮﻳﺔ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻭﺟﻪ، ﻭﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ ﻓﺎﻟﺘﺸﺒﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﺃﺻﻞ ﺍﻟﻮﺟﻮﺏ ﻻ ﻓﻲ ﺍﻟﻘﺪﺭ ﺍﻟﻮﺍﺟﺐ ﻭﻻ ﻓﻲ ﺻﻔﺘﻪ ﻭﻻ ﻓﻲ ﺯﻣﻨﻪ.
Kemudian mereka
(Ibnu Abbas, Mu’adz Bin Jabal, Atho’ & Adh-Dhohhak) berkata : “Dan
kewajiban Puasa ini telah berlangsung sejak masa Nabi Nuh a.s. sampai
pada Masa Islam, hingga pada akhirnya Allah menghapuskan kewajiban puasa
tersebut dan menggantikannya dengan Puasa Ramadhan”.
Mu’adz Bin Jabal
menambahkan: “Bahkan penghapusan puasa tersebut diganti dengan puasa
pada hari-hari tertentu, yang pada akhirnya diganti dengan Puasa
Ramadhan”.
Sedangkan yang
mereka maksud di sini adalah sesungguhnya Puasanya Nabi Adam a.s. itu di
Ayyamul Baidh (yaitu 13,14 & 15 dari penanggalan Hijriyah),
sedangkan Nabi Musa a.s. adalah pada hari Asyura’ (10 Muharram). Namun
pada kesimpulannya setiap Umat itu memang ada keserupaan dalam segi
kewajiban berpuasa, sedangkan dalam segi waktu, jenis dan kadarnya itu
tentu sangat berbeda.
Akan tetapi masih ada kemungkinan kesamaan dalam segi jenis itu sebagaimana riwayat dalam Hadits Shahih berikut ini :
“ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻟﻤﺎ ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻭﺟﺪ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﺼﻮﻣﻮﻥ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ، ﻓﻘﺎﻝ : ﻣﺎ ﻫﺬﺍ ؟
ﻗﺎﻟﻮﺍ : ﻫﺬﺍ ﻳﻮﻡ ﺃﻧﺠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻴﻪ ﻣﻮﺳﻰ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻭﺃﻏﺮﻕ ﻓﻴﻪ ﻓﺮﻋﻮﻥ، ﻓﻘﺎﻝ :
ﻧﺤﻦ ﺃﺣﻖ ﻣﻮﺳﻰ ﻣﻨﻜﻢ ﻓﺼﺎﻣﻪ ﻭﺃﻣﺮ ﺑﺼﻴﺎﻣﻪ ” ، ﻓﻜﺎﻥ ﻫﻮ ﺍﻟﻔﺮﻳﻀﺔ ﺣﺘﻰ ﻧﺰﻝ ﺭﻣﻀﺎﻥ،
ﻓﻘﺎﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ : ” ﻫﺬﺍ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﻭﻟﻢ ﻳﻜﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﺻﻴﺎﻣﻪ ﻣﻦ
ﺷﺎﺀ ﺻﺎﻣﻪ ﻭﻣﻦ ﺷﺎﺀ ﺃﻓﻄﺮﻩ.”
Hal yang bisa
dipetik dari sini adalah memang pada keserupaan antara puasa yang ada
pada ummat Islam dan ummat terdahulu adalah pada batas kewajibannya
saja, bukan pada kadar, waktu dan caranya. Hal ini apabila kita mengacu
pada Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu’adz Bin Jabal yang
menjelaskan tentang proses perubahan sholat dan puasa dalam
pemberlakuan syariat Islam serta peyebab turunnya Ayat tentang Puasa,
yaitu sebagai berikut :
ﻗﺎﻝ : ﺃﺣﻴﻠﺖ ﺍﻟﺼﻼﺓ
ﺛﻼﺛﺔ ﺃﺣﻮﺍﻝ … ﺇﻟﻰ ﺃﻥ ﻗﺎﻝ : ﺃﻣﺎ ﺃﺣﻮﺍﻝ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﺈﻥ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ
ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺪﻡ ﺍﻟﻤﺪﻳﻨﺔ ﻓﺠﻌﻞ ﻳﺼﻮﻡ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺷﻬﺮ ﺛﻼﺛﺔ ﺃﻳﺎﻡ ﻓﺼﺎﻡ ﺳﺒﻌﺔ ﻋﺸﺮ ﺷﻬﺮﺍ ﻣﻦ
ﺭﺑﻴﻊ ﺍﻷﻭﻝ ﺇﻟﻰ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﺃﻱ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻭﺻﺎﻡ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ.
ﺛﻢ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ
ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﺄﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ : ” ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻛُﺘِﺐَ
ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻛَﻤَﺎ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ
ﻟَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﺘَّﻘُﻮن.َ ” ( ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 183 ) ﺣﺘﻰ ﻗﻮﻟﻪ : ” ﻭَﻋَﻠَﻰ
ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳُﻄِﻴﻘُﻮﻧَﻪُ ﻓِﺪْﻳَﺔٌ ﻃَﻌَﺎﻡُ ﻣِﺴْﻜِﻴﻦٍ”
“Kemudian Allah SWT mewajibkan Puasa (Ramadhan) dengan menurunkan (perintah) : Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa kepada kalian sebagaimana telah diwajibkan pula kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 183)
Sampai pada Firman Allah: ” Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar Fidyah, yaitu memberi makan seorang Miskin”. (QS. Al-Baqarah : 184)
ﻗﺎﻝ : ﻓﻜﺎﻥ ﻣﻦ ﺷﺎﺀ
ﺻﺎﻡ، ﻭ ﻣﻦ ﺷﺎﺀ ﺃﻃﻌﻢ ﻣﺴﻜﻴﻨﺎ ﻓﺄﺟﺰﺃ ﺫﻟﻚ ﻋﻨﻪ، ﺛﻢ ﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻧﺰﻝ ﺍﻵﻳﺔ ﺍﻷﺧﺮﻯ : ”
ﺷَﻬْﺮُ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃُﻧﺰِﻝَ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﻘُﺮْﺁﻥُ ﻫُﺪًﻯ ﻟِّﻠﻨَّﺎﺱِ
ﻭَﺑَﻴِّﻨَﺎﺕٍ ﻣِّﻦَ ﺍﻟﻬُﺪَﻯ ﻭَﺍﻟْﻔُﺮْﻗَﺎﻥِ ﻓَﻤَﻦ ﺷَﻬِﺪَ ﻣِﻨﻜُﻢُ ﺍﻟﺸَّﻬْﺮَ
ﻓَﻠْﻴَﺼُﻤْﻪُ ﻭَﻣَﻦ ﻛَﺎﻥَ ﻣَﺮِﻳﻀﺎً ﺃَﻭْ ﻋَﻠَﻰ ﺳَﻔَﺮٍ ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِّﻦْ
ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ.”
Kemudian Allah menurunkan ayat lain: “Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dan salah). Karena itu, barang siapa di antara kalian berada di bulan itu maka berpuasalah. (Sedangkan) barang siapa yang sakit atau dalam perjalanan (tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu, pada hari-hari yang lain”. (QS. Al-Baqarah : 185)
ﻗﺎﻝ : ﻓﺄﺛﺒﺖ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻴﺎﻣﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﻘﻴﻢ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻭﺭﺧﺺ ﻓﻴﻪ ﻟﻠﻤﺮﻳﺾ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻓﺮ، ﻭﺛﺒﺖ ﺍﻹﻃﻌﺎﻡ ﻟﻠﻜﺒﻴﺮ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻊ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ، ﻓﻬﺬﺍﻥ ﺣﺎﻻﻥ.
ﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢْ
ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﺮَّﻓَﺚُ ﺇِﻟَﻰ ﻧِﺴَﺎﺋِﻜُﻢْ ﻫُﻦَّ ﻟِﺒَﺎﺱٌ ﻟَّﻜُﻢْ
ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﻟِﺒَﺎﺱٌ ﻟَّﻬُﻦَّ ﻋَﻠِﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨﺘُﻢْ
ﺗَﺨْﺘَﺎﻧُﻮﻥَ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻓَﺘَﺎﺏَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻔَﺎ ﻋَﻨﻜُﻢْ ﻓَﺎﻵﻥَ
ﺑَﺎﺷِﺮُﻭﻫُﻦَّ ﻭَﺍﺑْﺘَﻐُﻮﺍ ﻣَﺎ ﻛَﺘَﺐَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻜُﻢْ ﻭَﻛُﻠُﻮﺍ ﻭَﺍﺷْﺮَﺑُﻮﺍ
ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺘَﺒَﻴَّﻦَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟﺨَﻴْﻂُ ﺍﻷَﺑْﻴَﺾُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺨَﻴْﻂِ ﺍﻷَﺳْﻮَﺩِ
ﻣِﻦَ ﺍﻟﻔَﺠْﺮِ ﺛُﻢَّ ﺃَﺗِﻤُّﻮﺍ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡَ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ
“Telah dihalalkan bagi kalian pada malam hari puasa bercampur (senggama) dengan Istri kalian, mereka adalah pakaian bagi kalian dan kalian adalah pakaian bagi mereka. Sesungguhnya Allah mengetahui bahwa diri kalian tidak mampu menahan diri, akan tetapi Dia telah menerima taubat kalian dan memaafkan kalian. Maka sekarang campurilah mereka (Istri) dan carilah apa yang telah Allah tetapkan bagi kalian. Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan hitam, yaitu Fajar. Kemudian sempurnakanlah Puasa sampai (tiba) waktu malam (Maghrib)”. (QS. Al-Baqarah : 187)
ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺣﻤﺪ ﻋﻦ ﻣﻌﺎﺫ ﺑﻦ ﺟﺒﻞ ﺭﺍﺟﻊ ﺍﻟﻔﺘﺢ ﺍﻟﺮﺑﺎﻧﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﺑﺎﺏ ﺃﺣﻮﺍﻝ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ.
Sedangkan sebagian
dari kalangan Tabi’in memandang keserupaan Puasa yang ada pada Ummat
Islam dan Ummat terdahulu itu dari sisi kewajibannya disertai dari sisi
waktu dan kadarnya, ini menurut Asy-Sya’bi, Qotadah, Mujahid dan Hasan
Al-Bashri.
Kemudian As-Siddi,
Abu Al-‘Aliyah dan Ar-Rabi’ menambahkan bahwa keserupaannya itu juga
pada sisi cara pelaksanaannya, yaitu mereka juga dilarang dari makan,
minum dan bersetubuh.
Imam Al-Qurthubi
menyebutkan dalam Tafsirnya (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an) ketika
mengomentari pendapat kalangan dari Tabi’in yaitu Asy-Sya’bi, Qotadah
dll :
ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻛﺘﺐ
ﻋﻠﻰ ﻗﻮﻡ ﻣﻮﺳﻰ ﻭ ﻋﻴﺴﻰ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻓﻐﻴﺮﻭﺍ، ﻭﺯﺍﺩ ﺃﺣﺒﺎﺭﻫﻢ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻋﺸﺮﺓ ﺃﻳﺎﻡ ﺛﻢ
ﻣﺮﺽ ﺑﻌﺾ ﺃﺣﺒﺎﺭﻫﻢ ﻓﻨﺬﺭ ﺇﻥ ﺷﻔﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻥ ﻳﺰﻳﺪ ﻓﻲ ﺻﻮﻣﻬﻢ ﻋﺸﺮﺓ ﺃﻳﺎﻡ ﻓﻔﻌﻞ، ﻓﺼﺎﺭ
ﺻﻮﻡ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ، ﻓﺼﻌﺐ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺮ ﻓﻨﻘﻠﻮﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺮﺑﻴﻊ، ﻭﺍﺧﺘﺎﺭ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺍﻟﻨﺤﺎﺱ ﻭﻗﺎﻝ : ﻭﻫﻮ ﺍﻷﺷﺒﻪ ﺑﻤﺎ ﻓﻲ ﺍﻵﻳﺔ، ﻭﻗﺎﻝ ﻣﺠﺎﻫﺪ : “ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ
ﻭﺟﻞ ﺻﻮﻡ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺃﻣﺔ
Imam Al-Qurthubi berkata :
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ : ﻭﻓﻴﻪ
ﺣﺪﻳﺚ ﻳﺪﻝ ﻋﻠﻰ ﺻﺤﺘﻪ ﻋﻦ ﺩﻏﻔﻞ ﺑﻦ ﺣﻨﻈﻠﺔ ﻋﻦ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ
ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺻﻮﻡ ﺷﻬﺮ ﻓﻤﺮﺽ ﺭﺟﻞ ﻣﻨﻬﻢ ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ ﻟﺌﻦ ﺷﻔﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻨﺰﻳﺪﻥ ﻋﺸﺮﺓ ﺛﻢ
ﻛﺎﻥ ﺁﺧﺮ ﻓﺄﻛﻞ ﻟﺤﻤﺎ ﻓﺄﻭﺟﻊ ﻓﻪ ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ ﻟﺌﻦ ﺷﻔﺎﻩ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻨﺰﻳﺪ ﺳﺒﻌﺔ ﺛﻢ ﻛﺎﻥ ﻣﻠﻚ
ﺁﺧﺮ ﻓﻘﺎﻟﻮﺍ : ﻟﻨﺘﻤﻦ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺴﺒﻌﺔ ﺍﻷﻳﺎﻡ ﻭﻧﺠﻌﻞ ﺻﻮﻣﻨﺎ ﻓﻲﺍﻟﺮﺑﻴﻊ ﻗﺎﻝ ﻓﺼﺎﺭ ﺧﻤﺴﻴﻦ.
ﻭﻗﻴﻞ ﺇﻧﻬﻢ ﺃﺧﺬﻭﺍ
ﺑﺎﻟﻮﺛﻴﻘﺔ ﻓﺼﺎﻣﻮﺍ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺜﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﺑﻌﺪﻫﺎ ﻳﻮﻣﺎ، ﻗﺮﻧﺎ ﺑﻌﺪ ﻗﺮﻥ، ﺣﺘﻰ ﺑﻠﻎ
ﺻﻮﻣﻬﻢ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ، ﻓﺼﻌﺐ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺤﺮ ﻓﻨﻘﻠﻮﻩ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﺼﻞ ﺍﻟﺸﻤﺴﻲ، ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻨﻘﺎﺵ
: ﻭﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﺣﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﺩﻏﻔﻞ ﺑﻦ ﺣﻨﻈﻠﺔ ﻭ ﺍﻟﺤﺴﻦ ﺍﻟﺒﺼﺮﻱ ﻭﺍﻟﺴﺪﻱ، ﻗﻠﺖ : ﻭﻟﻬﺬﺍ
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﻛﺮﻩ ﺍﻵﻥ ﺍﻟﺼﻮﻡ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺸﻚ ﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻌﺒﻲ : ﻟﻮ ﺻﻤﺖ ﺍﻟﺴﻨﺔ ﻛﻠﻬﺎ ﻷﻓﻄﺮﺕ
ﻳﻮﻡ ﺍﻟﺸﻚ، ﻭﺫﻟﻚ ﺃﻥ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻛﻤﺎ ﻓﺮﺽ ﻋﻠﻴﻨﺎ، ﻓﺤﻮﻟﻮﻩ ﺇﻟﻰ
ﺍﻟﻔﺼﻞ ﺍﻟﺸﻤﺴﻲ، ﻷﻧﻪ ﻗﺪ ﻛﺎﻥ ﻳﻮﺍﻓﻖ ﺍﻟﻘﻴﻆ ﻓﻌﺪﻭﺍ ﺛﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ، ﺛﻢ ﺟﺎﺀ ﺑﻌﺪﻫﻢ ﻗﺮﻥ
ﻓﺄﺧﺬﻭﺍ ﺑﺎﻟﻮﺛﻴﻘﺔ ﻷﻧﻔﺴﻬﻢ ﻓﺼﺎﻣﻮﺍ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺜﻼﺛﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻭﺑﻌﺪﻫﺎ ﻳﻮﻣﺎ، ﺛﻢ ﻟﻢ ﻳﺰﻝ
ﺍﻵﺧﺮ ﻳﺴﺘﻦ ﺑﺴﻨﺔ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻗﺒﻠﻪ ﺣﺘﻰ ﺻﺎﺭﻭﺍ ﺇﻟﻰ ﺧﻤﺴﻴﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻓﻠﺬﻟﻚ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ
: ” ﻛَﻤَﺎ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦ ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ.” ( ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 183 )
ﺭﺍﺟﻊ ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ – ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ 2/213
ﺭﺍﺟﻊ ﺍﻟﺠﺎﻣﻊ ﻷﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ – ﺍﻟﻘﺮﻃﺒﻲ 2/213
Akan tetapi ada yang menyebutkan bahwasannya mereka telah membuat perjanjian, maka mereka berpuasa sehari sebelum 30 (tiga puluh) hari (puasa wajib) dan sehari sesudahnya dari masa ke masa hingga pada akhirnya menjadi 50 (lima puluh) hari. Akan tetapi terlalu berat bagi mereka berpuasa di musim panas sehingga dipindah ke musim semi.
An-Naqqosy
berkata : “Dalam hal ini ada Hadits yang diriwayatkan oleh Dughfal Bin
Handzalah, Hasan Al-Bashri dan As-Siddi”. Kemudian saya berkata :
“Karena itu demi Allah, aku baru tahu kalau Puasa di hari Syak (30
Sya’ban) itu dimakruhkan sekarang”. Asy-Sya’bi berkata : “Andai aku
berpuasa satu tahun penuh, niscaya aku tidak akan berpuasa pada hari
Syak, hal ini karena orang-orang Nasroni telah diwajibkan Puasa Ramadhan
sebagaimana diwajibkan kepada kita, kemudian mereka memindahnya ke
musim semi, sebab Puasa Ramadhan itu bertepatan dengan Cuaca yang sanga
Panas di Musim Panas maka jadilah 30 (tiga puluh) hari. Kemudian setelah
itu tibalah masa ada di antara mereka yang membuat perjanjian untuk
mereka sendiri sehingga mereka berpuasa sehari sebelum 30 hari dan
sehari sesudahnya, kemudian dalam perkembangan masa berikutnya ada di
antara mereka yang juga membuat perjanjian yang pada akhirnya menjadikan
puasa mereka 50 (lima puluh) hari. Hal inilah sebagaimana yang dimaksud
oleh Allah SWT : “Telah diwajibkan puasa pada kalian sebagaimana telah
diwajibkan pada orang-orang sebelum kalian”. (QS. Al-Baqarah : 183)”. (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an Juz 2 hal. 213 Karya Imam Al-Qurthubi)
Sedangkan berikut ini adalah yang diriwayatkan Imam Ibn Katsir dari ‘Ibad Bin Manshur dari Al-Hasan, beliau berkata :
“ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻟﻘﺪ ﻛﺘﺐ ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺃﻣﺔ ﺧﻠﺖ ﻛﻤﺎﻛﺘﺒﻪ ﻋﻠﻴﻨﺎ ﺷﻬﺮﺍ ﻛﺎﻣﻼ”.
ﻭﻋﻦ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻣﺮﻓﻮﻋﺎ ﻗﺎﻝ : “ﺻﻴﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻛﺘﺒﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﻣﻢ ﻗﺒﻠﻜﻢ”.
ﻭﻟﻌﻞ ﺃﻭﺿﺢ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻓﻲ
ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺘﻐﻴﻴﺮ ﻭﺍﻟﺘﺒﺪﻳﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻭﻗﻊ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﻣﺎ ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﻄﺒﺮﻱ ﺑﺴﻨﺪﻩ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺪﻱ ﻭ
ﻧﻘﻠﻪ (ﺻﺎﺣﺐ ﺍﻟﺪﺭ ﺍﻟﻤﻨﺜﻮﺭ) ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
” ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻛَﻤَﺎ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦ
ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ”. ( ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 183 )
” ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢُ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡُ ﻛَﻤَﺎ ﻛُﺘِﺐَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻣِﻦ
ﻗَﺒْﻠِﻜُﻢْ”. ( ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 183 )
ﻗﺎﻝ : ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻣﻦ
ﻗﺒﻠﻨﺎ ﻓﺎﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻛﺘﺐ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺃﻻ ﻳﺄﻛﻠﻮﺍ ﻭﻻ ﻳﺸﺮﺑﻮﺍ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﻨﻮﻡ
ﻭﻻ ﻳﻨﻜﺤﻮﺍ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺷﻬﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ، ﻓﺎﺷﺘﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺼﺎﺭﻯ ﺻﻴﺎﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﺟﻌﻞ ﻳﺘﻘﻠﺐ
ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺘﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﻴﻒ ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺃﻭﺍ ﺫﻟﻚ ﺍﺟﺘﻤﻌﻮﺍ ﻓﺠﻌﻠﻮﺍ ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﺼﻞ ﺑﻴﻦ
ﺍﻟﺸﺘﺎﺀ ﻭﺍﻟﺼﻴﻒ ﻭﻗﺎﻟﻮﺍ ﻧﺰﻳﺪ ﻋﺸﺮﻳﻦ ﻳﻮﻣﺎ ﻧﻜﻔﺮ ﺑﻬﺎ ﻣﺎ ﺻﻨﻌﻦ ﻓﺠﻌﻠﻮﺍ ﺻﻴﺎﻣﻬﻢ
ﺧﻤﺴﻴﻦ.
ﺭﺍﺟﻊ ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ -ﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻟﺪﻣﺸﻘﻲ 1/213
ﺭﺍﺟﻊ ﺗﻔﺴﻴﺮ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﺍﻟﻌﻈﻴﻢ -ﺍﺑﻦ ﻛﺜﻴﺮ ﺍﻟﺪﻣﺸﻘﻲ 1/213
“Demi Allah, sungguh Allah telah mewajibkan puasa kepada setiap Ummat yang telah berlalu, sebagaimana diwajibkan kepada kita selama sebulan penuh”.
Serta riwayat dari Ibnu Umar, beliau berkata : “Puasa Ramadhan telah Allah wajibkan pula pada Ummat sebelum kalian”.
Mungkin untuk
memperjelas 2 riwayat tersebut tentang perubahan dan pengalihan puasa
yang terjadi pada Ummat Nasrani, yaitu apa yang diriwayatkan oleh Imam
Ath-Thobari dengan sanadnya dari As-Siddi, dan riwayat ini juga
disebutkan oleh pengarang Ad-Durr Al-Mantsur penjelasan dalam Firman
Allah SWT QS. Al-Baqarah ayat 183 : “Wahai orang-orang yang beriman,
telah diwajibkan puasa kepada kalian sebagaimana telah diwajibkan pula
kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang yang
bertakwa”.
Beliau (Imam
Ath-Thobari) berkata : “Adapun Ummat sebelum kita yaitu Nasrani, telah
diwajibkan Puasa Ramadhan kepada mereka. Dan diwajibkan pula untuk tidak
makan dan tidak minum setelah tidur, begitu juga untuk tidak
bersenggama dengan Istri mereka pada Bulan Ramadhan. Akan tetapi hal ini
terlalu berat bagi mereka hingga akhirnya mereka berkumpul dan
memutuskan agar Puasa Wajib tersebut dilaksanakan antara musim dingin
dan musim panas. Kemudian mereka berkata : “Kita akan menambahkan 20
(dua puluh) hari sebagai penebus apa yang telah kita lakukan (yaitu
memindah puasa)”. Maka jadilah puasa mereka 50 hari”. (Tafsir Ibn Katsir Juz 1 Hal. 213)
Maka dari itu,
sejatinya Puasa yang ada pada Ummat Nasrani serupa dengan Puasa yang ada
pada Ummat Islam sampai akhirnya mereka merubah ketentuan waktu dan
kadar puasanya. Inilah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Mu’adz Bin
Jabal dalam Hadits sebelumnya. Karena itu As-Siddi, Abu Al-‘Aliyah dan
Ar-Rabi’ berpendapat bahwasannya keserupaan yang terjadi antara Puasanya
Ummat Nasrani dan Ummat Islam tidak terjadi pada ketentuan waktu dan
kadarnya saja akan tetapi juga terjadi keserupaan pada cara dan
larangannya. Sebagaimana mereka telah dilarang untuk makan, minum dan
bersenggama. Nah, ketika tiba waktu berbuka puasa maka tidak ada yang
boleh melakukan hal-hal terlarang tersebut ketika mereka telah tidur
(malam), dan hal ini juga terjadi pada masa awal Islam sampai akhirnya
Allah menghapus aturan tersebut dengan ayat berikut: “Telah dihalalkan bagi kalian untuk bercampur (senggama) pada malam hari puasa”. (QS. Al-Baqarah : 187)
Ayat ini turun
setelah adanya kejadian yang menimpa Abu Qais Bin Shoromah dan Umar Bin
Khattab hingga akhirnya Allah menghalalkan makan, minum dan bersenggama
bagi mereka (Ummat Islam) sampai terbitnya Fajar. Inilah keringanan dari
Allah SWT bagi Kaum Muslimin dengan memberi jalan keluar dari Syariat
yang berat ke Syariat yang lebih ringan tidak seperti apa yang terjadi
pada Ummat Nasrani yang telah merubah Syariat Allah dengan mengganti
kadar dan cara pelaksanaan puasanya.
Sedangkan Riwayat
yang menunjukkan tentang hal tersebut sangat banyak, di antaranya adalah
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya :
ﻋﻦ ﺍﻟﺒﺮﺍﺀ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻓﺤﻀﺮ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ ﻓﻨﺎﻡ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﻔﻄﺮ ﻟﻢ ﻳﺄﻛﻞ ﻟﻴﻠﺘﻪ ﻭﻻ ﻳﻮﻣﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻤﺴﻲ، ﻭﺃﻥ ﻗﻴﺲ ﺑﻦ ﺻﺮﻣﺔ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﻛﺎﻥ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﻤﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺨﻴﻞ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﻛﺎﻥ ﺻﺎﺋﻤﺎ، ﻓﻠﻤﺎ ﺣﻀﺮ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ ﺃﺗﻰ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ : ﺃﻋﻨﺪﻙ ﻃﻌﺎﻡ ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻻ، ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻧﻄﻠﻖ ﻓﺎﻃﻠﺐ ﻟﻚ، ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻮﻣﻪ ﻳﻌﻤﻞ ﻓﻐﻠﺒﺘﻪ ﻋﻴﻨﺎﻩ، ﻓﺠﺎﺀﺗﻪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺃﺗﻪ ﻗﺎﻟﺖ : ﺧﻴﺒﺔ ﻟﻚ، ﻓﻠﻤﺎ ﺍﻧﺘﺼﻒ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻏﺸﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﺬﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻨﺰﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ :
” ﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢْ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﺮَّﻓَﺚُ ﺇِﻟَﻰ ﻧِﺴَﺎﺋِﻜُﻢْ.” ( ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 187 ) ﻓﻔﺮﺣﻮﺍ ﻟﻤﺎ ﺃﺣﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻬﻢ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﺤﺮﻣﺎ ﻭﻧﺰﻟﺖ :
” ﻭَﻛُﻠُﻮﺍ ﻭَﺍﺷْﺮَﺑُﻮﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺘَﺒَﻴَّﻦَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟﺨَﻴْﻂُ ﺍﻷَﺑْﻴَﺾُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺨَﻴْﻂِ ﺍﻷَﺳْﻮَﺩِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻔَﺠْﺮ.” (ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 187)
ﻋﻦ ﺍﻟﺒﺮﺍﺀ ﻗﺎﻝ : ﻛﺎﻥ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﻣﺤﻤﺪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﺮﺟﻞ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻓﺤﻀﺮ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ ﻓﻨﺎﻡ ﻗﺒﻞ ﺃﻥ ﻳﻔﻄﺮ ﻟﻢ ﻳﺄﻛﻞ ﻟﻴﻠﺘﻪ ﻭﻻ ﻳﻮﻣﻪ ﺣﺘﻰ ﻳﻤﺴﻲ، ﻭﺃﻥ ﻗﻴﺲ ﺑﻦ ﺻﺮﻣﺔ ﺍﻷﻧﺼﺎﺭﻱ ﻛﺎﻥ ﺻﺎﺋﻤﺎ ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻛﺎﻥ ﻳﻌﻤﻞ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺨﻴﻞ ﺑﺎﻟﻨﻬﺎﺭ ﻭﻛﺎﻥ ﺻﺎﺋﻤﺎ، ﻓﻠﻤﺎ ﺣﻀﺮ ﺍﻹﻓﻄﺎﺭ ﺃﺗﻰ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ : ﺃﻋﻨﺪﻙ ﻃﻌﺎﻡ ؟ ﻗﺎﻟﺖ : ﻻ، ﻭﻟﻜﻦ ﺍﻧﻄﻠﻖ ﻓﺎﻃﻠﺐ ﻟﻚ، ﻭﻛﺎﻥ ﻳﻮﻣﻪ ﻳﻌﻤﻞ ﻓﻐﻠﺒﺘﻪ ﻋﻴﻨﺎﻩ، ﻓﺠﺎﺀﺗﻪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻓﻠﻤﺎ ﺭﺃﺗﻪ ﻗﺎﻟﺖ : ﺧﻴﺒﺔ ﻟﻚ، ﻓﻠﻤﺎ ﺍﻧﺘﺼﻒ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻏﺸﻲ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﺬﻛﺮ ﺫﻟﻚ ﻟﻠﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻨﺰﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻵﻳﺔ :
” ﺃُﺣِﻞَّ ﻟَﻜُﻢْ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡِ ﺍﻟﺮَّﻓَﺚُ ﺇِﻟَﻰ ﻧِﺴَﺎﺋِﻜُﻢْ.” ( ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 187 ) ﻓﻔﺮﺣﻮﺍ ﻟﻤﺎ ﺃﺣﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻬﻢ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﻣﺤﺮﻣﺎ ﻭﻧﺰﻟﺖ :
” ﻭَﻛُﻠُﻮﺍ ﻭَﺍﺷْﺮَﺑُﻮﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﺘَﺒَﻴَّﻦَ ﻟَﻜُﻢُ ﺍﻟﺨَﻴْﻂُ ﺍﻷَﺑْﻴَﺾُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺨَﻴْﻂِ ﺍﻷَﺳْﻮَﺩِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻔَﺠْﺮ.” (ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 187)
Diriwayatkan dari Al-Barra’, beliau berkata: “Dahulu para Sahabat Nabi Muhammad SAW jika ada seorang lelaki yang berpuasa kemudian tiba waktunya berbuka akan tetapi ia terlanjur tidur (terlebih dahulu) sebelum berbuka, maka tidak boleh makan pada malam harinya begitu juga siang harinya sampai sore (maghrib). Dan sesungguhnya Qais Bin Shoromah Al-Anshori ketika itu beliau berpuasa, dalam riwayat lain beliau sedang bekerja di kebun kurma di siang hari dalam keadaan berpuasa. Ketika tiba waktunya berbuka ia mendatangi Istrinya dan berkata: “Apakah engkau punya makanan?”, Istrinya menjawab: “Tidak, akan tetapi aku akan pergi mencarinya untukmu”. Karena pada hari itu ia (Qais) bekerja sehingga terlelap dalam tidurnya. Kemudian datanglah Istrinya sembari berkata: “Alangkah malangnya dirimu”. Ketika tiba di pertengahan siang hari (esoknya) ia (Qais) terpingsan, akhirnya hal ini diceritakan kepada Nabi SAW kemudian turunlah ayat ini:“Telah dihalalkan bagi kalian untuk bercampur (senggama) dengan istri kalian pada malam hari puasa”. (QS. Al-Baqarah : 187)
Maka para sahabat bergembira ketika Allah menghalalkan apa yang telah diharamkan sebelumnya, kemudian turun ayat: “Maka makan dan minumlah sampai jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam dari Fajar (Shubuh)”. (QS. Al-Baqarah : 187) (HR. Bukhari)
Disebutkan pula dalam Shahih Bukhari :
” ﻋﻦ ﺍﻟﺒﺮﺍﺀ ﻗﺎﻝ : ﻟﻤﺎ ﻧﺰﻝ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻻ ﻳﻘﺮﺑﻮﻥ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻛﻠﻪ، ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺨﻮﻧﻮﻥ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻓﺄﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
” ﻋَﻠِﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺨْﺘَﺎﻧُﻮﻥَ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻓَﺘَﺎﺏَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻔَﺎ ﻋَﻨﻜُﻢْ.” ( ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 187)
” ﻋﻦ ﺍﻟﺒﺮﺍﺀ ﻗﺎﻝ : ﻟﻤﺎ ﻧﺰﻝ ﺻﻮﻡ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻻ ﻳﻘﺮﺑﻮﻥ ﺍﻟﻨﺴﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻛﻠﻪ، ﻭﻛﺎﻥ ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺨﻮﻧﻮﻥ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻓﺄﻧﺰﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ :
” ﻋَﻠِﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺃَﻧَّﻜُﻢْ ﻛُﻨﺘُﻢْ ﺗَﺨْﺘَﺎﻧُﻮﻥَ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻓَﺘَﺎﺏَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﻋَﻔَﺎ ﻋَﻨﻜُﻢْ.” ( ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : 187)
Dari Al-Barra’, beliau berkata : “Ketika ada perintah Wajib Puasa Ramadhan, mereka (Para Sahabat) tidak mendekati Istri mereka selama Ramadhan penuh, akan tetapi kaum lelaki tidak mampu menahan diri mereka, maka Allah menurunkan ayat: “Allah mengetahui bahwa kalian tidak dapat menahan diri kalian, tetapi Dia telah menerima taubat kalian dan memaafkan kalian”. (QS. Al-Baqarah : 187), HR. Imam Bukhari
Imam Ath-Thobari menyebutkan :
“ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﺭﺟﻊ ﻣﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻗﺪ ﺳﻤﺮ ﻋﻨﺪﻩ ﻟﻴﻠﺔ ﻓﻮﺟﺪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻗﺪ ﻧﺎﻣﺖ ﻓﺄﺭﺍﺩﻫﺎ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻟﻪ : ﻗﺪ ﻧﻤﺖ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ : ﻣﺎ ﻧﻤﺖ، ﻓﻮﻗﻊ ﺑﻬﺎ، ﻭﺻﻨﻊ ﻛﻌﺐ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻐﺪﺍ ﻋﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻋﺘﺬﺭ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺇﻟﻴﻚ ﻓﺈﻥ ﻧﻔﺴﻲ ﺯﻳﻨﺖ ﻟﻲ ﻓﻮﺍﻗﻌﺖ ﺃﻫﻠﻲ، ﻓﻬﻞ ﺗﺠﺪ ﻟﻲ ﻣﻦ ﺭﺧﺼﺔ ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻲ : ” ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺣﻘﻴﻘﺎ ﺑﺬﻟﻚ ﻳﺎ ﻋﻤﺮ ” ﻓﻠﻤﺎ ﺑﻠﻎ ﺑﻴﺘﻪ ﺃﺭﺳﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻓﺄﻧﺒﺄﻩ ﺑﻌﺬﺭﻩ ﻓﻲ ﺁﻳﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ.”
“ﺃﻥ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻋﻨﻪ ﺭﺟﻊ ﻣﻦ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﻗﺪ ﺳﻤﺮ ﻋﻨﺪﻩ ﻟﻴﻠﺔ ﻓﻮﺟﺪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻗﺪ ﻧﺎﻣﺖ ﻓﺄﺭﺍﺩﻫﺎ ﻓﻘﺎﻟﺖ ﻟﻪ : ﻗﺪ ﻧﻤﺖ، ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻬﺎ : ﻣﺎ ﻧﻤﺖ، ﻓﻮﻗﻊ ﺑﻬﺎ، ﻭﺻﻨﻊ ﻛﻌﺐ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻐﺪﺍ ﻋﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎﻝ : ﺃﻋﺘﺬﺭ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺇﻟﻴﻚ ﻓﺈﻥ ﻧﻔﺴﻲ ﺯﻳﻨﺖ ﻟﻲ ﻓﻮﺍﻗﻌﺖ ﺃﻫﻠﻲ، ﻓﻬﻞ ﺗﺠﺪ ﻟﻲ ﻣﻦ ﺭﺧﺼﺔ ؟ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﻲ : ” ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﺣﻘﻴﻘﺎ ﺑﺬﻟﻚ ﻳﺎ ﻋﻤﺮ ” ﻓﻠﻤﺎ ﺑﻠﻎ ﺑﻴﺘﻪ ﺃﺭﺳﻞ ﺇﻟﻴﻪ ﻓﺄﻧﺒﺄﻩ ﺑﻌﺬﺭﻩ ﻓﻲ ﺁﻳﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ.”
Inilah yang kami
temukan pada Syariat Puasa yang ada dalam Islam yang sebelumnya makan,
minum dan senggama itu diharamkan kemudian Allah ganti dengan keringanan
menghalalkan makan, minum dan senggama sampai menjelang masuknya waktu
Shubuh. Dan sebelum adanya keringanan akan hal itu, cara puasa dan
larangan serta kadarnya terdapat pada Syariat Puasa Ummat terdahulu,
akan tetapi mereka telah merubah ketentuan, kadar dan waktunya. Dari ini
bisa kita simpulkan maksud keserupaan yang ada pada ayat berikut :
[ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى
الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ] ( البقرة: 183)
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan puasa kepada kalian sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah : 183)
Keserupaan tersebut ada pada semua konteks dan sisi puasa tersebut, mulai dari larangan, waktu dan kadarnya.
KOTAK KOMENTAR
|