The Death of Samurai: Robohnya Sony, Panasonic, Sharp, Toshiba dan Sanyo -
Assalamualaikum agan2 kaskuser.
Berita hangat minggu ini yaitu tentang banyaknya perusahaan Jepang mem-PHK pekerjanya di Indonesia menjadi topik yg sangat hangat. Hal ini sesuai dengan Hot Thread yang berjudul "Tak lagi laku, panasonic dan Toshiba hengkang dari Indonesia". Hmm...saya jadi ingat, dulu pernah membaca artikel tentang prediksi robohnya perusahaan jepang. dan Alhamdulillah saya menemukan artikel tersebut yang di muat oleh strategimanajemen.net dan di tulis pada tahun 2012 yang lalu.
Hari-hari ini, langit diatas kota Tokyo terasa begitu kelabu. Ada kegetiran yang mencekam dibalik gedung-gedung raksasa yang menjulang disana. Industri elektronika mereka yang begitu digdaya 20 tahun silam, pelan-pelan memasuki lorong kegelapan yang terasa begitu perih.
Bulan lalu, Sony diikuti Panasonic dan Sharp mengumumkan angka kerugian trilyunan rupiah. Harga-harga saham mereka roboh berkeping-keping. Sanyo bahkan harus rela menjual dirinya lantaran sudah hampir kolaps. Sharp berencana menutup divisi AC dan TV Aquos-nya. Sony dan Panasonic akan mem-PHK ribuan karyawan mereka. Dan Toshiba? Sebentar lagi divisi notebook-nya mungkin akan bangkrut (setelah produk televisi mereka juga mati).
Adakah ini pertanda salam sayonara harus dikumandangkan? Mengapa kegagalan demi kegagalan terus menghujam industri elektronika raksasa Jepang itu? Di Senin pagi ini, kita akan coba menelisiknya.
Serbuan Samsung dan LG itu mungkin terasa begitu telak. Di mata orang Jepang, kedua produk Korea itu tampak seperti predator yang telah meremuk-redamkan mereka di mana-mana. Di sisi lain, produk-produk elektronika dari China dan produk domestik dengan harga yang amat murah juga terus menggerus pasar produk Jepang. Lalu, dalam kategori digital gadgets, Apple telah membuat Sony tampak seperti robot yang bodoh dan tolol.
What went wrong? Kenapa perusahaan-perusahaan top Jepang itu jadi seperti pecundang? Ada tiga faktor penyebab fundamental yang bisa kita petik sebagai pelajaran.
Faktor 1 : Harmony Culture Error
Dalam era digital seperti saat ini, kecepatan adalah kunci. Speed in decision making. Speed in product development. Speed in product launch. Dan persis di titik vital ini, perusahaan Jepang termehek-mehek lantaran budaya mereka yang mengangungkan harmoni dan konsensus.
Datanglah ke perusahaan Jepang, dan Anda pasti akan melihat kultur kerja yang sangat mementingkan konsensus. Top manajemen Jepang bisa rapat berminggu-minggu sekedar untuk menemukan konsensus mengenai produk apa yang akan diluncurkan. Dan begitu rapat mereka selesai, Samsung atau LG sudah keluar dengan produk baru, dan para senior manajer Jepang itu hanya bisa melongo.
Budaya yang mementingkan konsensus membuat perusahaan-perusahaan Jepang lamban mengambil keputusan (dan dalam era digital ini artinya tragedi).
Budaya yang menjaga harmoni juga membuat ide-ide kreatif yang radikal nyaris tidak pernah bisa mekar. Sebab mereka keburu mati : dijadikan tumbal demi menjaga “keindahan budaya harmoni”. Ouch.
Faktor 2 : Seniority Error
Dalam era digital, inovasi adalah oksigen. Inovasi adalah nafas yang terus mengalir. Sayangnya, budaya inovasi ini tidak kompatibel dengan budaya kerja yang mementingkan senioritas serta budaya sungkan pada atasan.
Sialnya, nyaris semua perusahaan-perusahaan Jepang memelihara budaya senioritas. Datanglah ke perusahaan Jepang, dan hampir pasti Anda tidak akan menemukan Senior Managers dalam usia 30-an tahun. Never. Istilah Rising Stars dan Young Creative Guy adalah keanehan.
Promosi di hampir semua perusahaan Jepang menggunakan metode urut kacang. Yang tua pasti didahulukan, no matter what. Dan ini dia : di perusahaan Jepang, loyalitas pasti akan sampai pensiun. Jadi terus bekerja di satu tempat sampai pensiun adalah kelaziman.
Lalu apa artinya semua itu bagi inovasi ? Kematian dini. Ya, dalam budaya senioritas dan loyalitas permanen, benih-benih inovasi akan mudah layu, dan kemudian semaput. Masuk ICU lalu mati.
Faktor 3 : Old Nation Error
Faktor terakhir ini mungkin ada kaitannya dengan faktor kedua. Dan juga dengan aspek demografi. Jepang adalah negeri yang menua. Maksudnya, lebih dari separo penduduk Jepang berusia diatas 50 tahun.
Implikasinya : mayoritas Senior Manager di beragam perusahaan Jepang masuk dalam kategori itu. Kategori karyawan yang sudah menua.
Disini hukum alam berlaku. Karyawan yang sudah menua, dan bertahun-tahun bekerja pada lingkungan yang sama, biasanya kurang peka dengan perubahan yang berlangsung cepat. Ada comfort zone yang bersemayam dalam raga manajer-manajer senior dan tua itu.
Dan sekali lagi, apa artinya itu bagi nafas inovasi? Sama : nafas inovasi akan selalu berjalan dengan tersengal-sengal.
Demikianlah, tiga faktor fundamental yang menjadi penyebab utama mengapa raksasa-raksasa elektronika Jepang limbung. Tanpa ada perubahan radikal pada tiga elemen diatas, masa depan Japan Co mungkin akan selalu berada dalam bayang-bayang kematian.
Adapun tanggapan dari netizen banyak yang pro-kontra dengan tulisan artikel ini, dan penulisnya pun menanggapi dengan sebuah tulisan dengan kata2 yang tepat yang di tulis pada tahun 2015 kemarin.
Kenapa Artikel tentang the Death of Samurai dan Kegoblokan Kolektif Memancing Kehebohan?
Terus terang saya terkejut dan sama sekali tidak menduga jika tulisan minggu lalu berjudul “Ilmu Financial Psychology, Booming Batu Akik dan Kegoblokan Kolektif” mendadak heboh dan meledak menjadi viral (hanya dalam seminggu, tulisan itu telah di-share/like di Facebook sebanyak lebih dari 28 ribu kali!!).
Dulu artikel tentang The Death of Samurai : Robohnya Sony, Panasonic dan Sharp juga mengundang kehebohan yang sama dan menjadi viral. Artikel ini dulu menjadi topik diskusi di hampir semua milis manajemen dan bisnis di tanah air.
Pertanyannya, kenapa tulisan tentang the Death of Samurai dan Kegoblokan Kolektif mendadak heboh dan menjadi viral? Faktor kunci apa yang bisa dilacaknya? Kita akan menguliknya di pagi hari ini, ditemani secangkir wedang jahe.
Terus terang bagi seorang blogger atau pebisnis online, viral itu amat penting. Sebab viral itu ibarat iklan gratis. Dengan tulisan/produk yang menyebar (mem-viral) dengan sendirinya, mendadak ribuan orang jadi kenal dengan blog/web kita, tanpa kita perlu membayar iklan.
Beragam kanal social media seperti FB, twitter, youtube, milis, atau Kaskus sering membuat sebuah tulisan/produk menyebar dengan cepat, dan menjadi viral.
Pluggin social share yang saya pasang di setiap bagian bawah artikel, ternyata memang sangat powerful dalam menyebarkan gagasan renyah yang termuat di blog ini dan menciptakan sebuah viral.
Thank you brothers and sisters for sharing my inspiring articles
Viral bisa membantu peningkatan trafik pengunjung website/blog secara sangat signifikan. Dan bagi seorang blogger/pebisnis online, trafik pengunjung yang tinggi bisa berdampak positif bagi peningkatan income.
Sejak saya menulis blog strategi + manajemen tahun 2007 lalu, memang sudah cukup banyak artikel di blog ini yang menjadi viral. Namun hanya dua artikel yang benar-benar meledak secara ekstrem, dan menjadi viral menyebar kemana-mana.
Tulisan pertama adalah tentang kejatuhan perusahaan Jepang dalam artikel yang saya beri judul : The Death of Samurai – Robohnya Sony, Panasonic dan Sharp (terbit tahun 2012 lalu). Tulisan kedua yang meledak, ya yang minggu lalu terbit, berjudul Ilmu Financial Psychology, Booming Batu Akik dan Kegoblokan Kolektif.
Dari dua kasus ini, ada tiga faktor kunci yang mungkin bisa dilacak kenapa sebuah ide tulisan bisa menjadi viral. Viral # 1 : Playing the Momentum
Sebuah tulisan lebih berpeluang menjadi viral, jika tulisan itu relevan dengan isu yang lagi hot di tengah publik.
Dulu tulisan the death samurai muncul di saat ada gema kejatuhan Sony dan kebangkitan perusahaan Korea seperti Samsung yang menggilas Jepang.
Tulisan minggu lalu, tentang batu akik, sangat relevan dengan demam yang memang lagi hangat di tengah masyarakat.
Karena pas dengan momentum isu yang lagi hangat, maka kedua tulisan itu ikut-ikutan meledak. Maka menulis sebuah artikel yang cukup dekat dengan isu hangat ekonomi bisnis, mungkin akan membantu penyebaran artikel itu secara viral.
Viral # 2 : Provokatif dan Menggugah Emosi
Sejumlah studi menulis, sebuah konten/tulisan lebih berpeluang menjadi viral jika isinya bisa menggugah emosi pembacanya (bisa emosi kesedihan, kegembiraan, atau emosi kemarahan).
Judul tulisan the Death of Samurai mungkin memang provokatif, dan isinya amat menggugah emosi. Maksudnya emosi para pembaca yang kebetulan bekerja di perusahaan Jepang Saat itu para manajer yang bekerja di Sony Indonesia atau Sharp Indonesia merasa kebakaran jenggot, dan kesal dengan isi tulisan itu.
Tulisan minggu lalu tentang kegoblokan kolektif bahkan lebih menggetarkan hati dan menggugah emosi. Itulah kenapa saya dimaki habis-habisan oleh para pebisnis batu akik dari seluruh NKRI, melalui ratusan komen pembaca
Bagi pembaca yang kebetulan bisnis batu akik, saya mohon maaf ya jika tulisan minggu lalu kurang berkenan. Namun ijinkan saya menjelaskan : sejatinya istilah collective stupidity itu saya tujukan BUKAN untuk para pedagang profesional batu akik (yang memang bagus untuk membantu ekonomi keluarga).
Istilah itu saya tujukan untuk orang awam yang selama ini hanya latah dan ikut-ikutan. Dan produk yang dibeli oleh fenomena kelatahan itu bukan hanya batu akik, namun bisa demam saham, demam emas, atau demam properti (seperti yang saya tuliskan).
Namun itulah risiko sebuah tulisan yang provokatif. Amat rentan untuk disalahpahami, jika dibaca dengan kurang jernih dan cermat.
Toh, meski provokatif, esensi tulisan ini benar adanya. Gejala konsumsi produk (entah batu akik, entah saham, entah gadget) yang hanya karena tren atau sikap latah, acapkali berakhir dengan penyesalan. Banyak yang setuju dengan poin ini, makanya ada lebih dari 28 ribu pembaca yang nge-share/nge-like artikel itu.
Viral # 3 : Remarkable and Inspiring Contents.
Ini faktor kunci lainnya yang bisa membuat sebuah artikel menjadi viral. Isinya harus benar-benar maut, remarkable dan inspiring.
Isi artikel the death of samurai rasanya memang lugas dan menggetarkan. Sebuah narasi renyah dan kelam tentang kejatuhan raksasa Jepang seperti Sony, Panasonic, Toshiba, Sharp dan Sanyo. Itulah kenapa Menteri Perhubungan Jonan (saat masih menjadi Dirut PTKAI) sampai perlu mengutip isi artikel itu untuk penulisan bukunya.
Isi artikel minggu lalu juga rasanya solid : menuliskan sebuah ilmu serius tentang financial psychology dengan contoh yang membumi, dan bahasa yang renyah (meski juga lumayan sarkastis).
Isi artikel itu juga sudah dibuktikan oleh ratusan riset ilmiah tentang perilaku – tentang betapa manusia itu acap melakukan hal-hal yang tidak rasional dalam buying decision making.
Itulah kenapa kru televisi Trans7 sampai datang ke rumah saya untuk melakukan wawancara tentang fenomena booming batu akik dilihat dari sudut pandang ilmu perilaku (behavior science).
Sayangnya, wawancara saya dengan Trans7 sudah ditayangkan kemarin sore. Jadi Anda tidak sempat melihat blogger legendaris ini tampil di layar televisi Anda
DEMIKIANLAH, tiga faktor kunci yang barangkali bisa membantu sebuah tulisan/produk menjadi viral. Playing the momentum. Be provocative. And be remarkable.
Tiba-tiba saya merasa dua judul artikel yang meledak menjadi viral itu, jika digabungkan mungkin asyik dan cocok jadi judul film. Judulnya seperti ini:
Kematian Pendekar Samurai karena Kesaktian Jimat Batu Akik
Sumber :
No comments:
Post a Comment