×

Sunday, 28 June 2015

Ayah Kenapa Kita Tidak Kaya





Ayah Kenapa Kita Tidak Kaya - komentar
APAKAH kekayaan diukur lewat jumlah harta? Tentu saja. Berapa banyak uang Anda? Berapa banyak rumah, mobil, tanah, kebun, yang Anda miliki? Apakah pekerjaan yang Anda geluti membuat Anda dikenal banyak orang dan lantaran itu mendapatkan hormat?
Jika semua itu berada di dalam genggaman Anda, benar, Anda kaya. Akan tetapi, sudut pandang dan ukuran kekayaan tidak berhenti sampai di sana. Ada ukuran yang lain, yakni kebahagiaan. Pertanyaan selanjutnya adalah, mungkinkah ada kebahagiaan dalam keserbaterbatasan? Terkesan klise. Tapi ada.
Sineas muda asal Singapura, Daniel Yim, memaparkan keklisean ini lewat satu film pendek berjudul Gift. Satu kisah sederhana yang mengetengahkan kehidupan Lim, seorang lelaki setengah baya dan anak.
Lim senior bukanlah lelaki mapan. Ia bekerja serabutan. Bekerja apa saja untuk menghidupi dirinya dan anaknya. Mulai dari berjualan koran, menjadi sales pembagi-bagi brosur, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang di mata Lim junior, tidak tampak keren dan terhormat.
"Ayahku, sama sekali tidak pernah menjadi inspirasi bagiku," katanya.
"Dan aku tidak ingin kelak, jika dewasa, menjadi seperti dia. Aku ingin hidup berbahagia."
Lim junior merasa tidak berbahagia. Suatu malam, saat duduk di meja makan, ayahnya memberikan uang padanya. Uang yang berlebih dari biasanya. Lim kecil tersenyum, tapi segera surut, saat ayahnya mengambil kembali uang berlebih itu dan memasukkannya ke toples.

Dalam keserbaterbatasannya, Lim senior justru rutin menyumbang. Hal yang dicibir oleh anaknya.
"Ayah, kenapa kita tidak kaya?" tanya Lim kecil.
Ayahnya menjawab. "Kaya itu bukan tetang berapa banyak yang kau punya. Namun berapa banyak kau memberi dan dari hal itu kau membuat orang lain merasa berbahagia."
Lim kecil mencoba menggugat. Bahagia? Bahkan dirinya sendiri tidak pernah berbahagia. Maka kemudian ia melakukan pemberontakan. Meski tidak secara langsung, ia memusuhi ayahnya. Ia mendapatkan beasiswa sekolah di luar negeri dan sejak itu tidak pernah pulang, bahkan di hari Tahun Baru. Lim kecil yang telah menjadi dewasa ingin mengejar mimpinya menjadi kaya dari sudut pandangnya sendiri.
Sampai kemudian sang ayah meninggal dunia dan ia menyadari satu hal yang membuatnya menunduk hormat dan berurai air mata.
Saat membongkar barang-barang milik ayahnya, Lim menemukan sejumlah surat dari yayasan-yayasan sosial dan kemanusiaan. Surat-surat itu berisi ucapan terima kasih atas sumbangan yang telah diberikan kepada mereka. Seluruh sumbangan, diberikan atas namanya.
Lim mendatangi satu yayasan yang mengirimkan surat bertanggal paling akhir. Yayasan anak cacat. Ia bertemu dengan direktur rumah sakit itu, yang menceritakan betapa mendiang Lim senior telah memberi inspirasi besar baginya dan bagi seluruh anak di yayasan itu.

"Dulu ada seorang anak yang sudah tidak lagi memiliki semangat hidup. Tuan Lim datang sebagai seorang badut dan menjadi penyelamat kami semua," katanya. Anak yang sempat kehilangan semangat tersebut adalah direktur itu sendiri, yang mengerjakan tugas-tugasnya dari atas kursi roda.
Cerita direktur ini membuat Lim sangat terpukul. Setelah sekian lama, bertahun-tahun hingga ayahnya meninggal dunia, barulah ia menyadari makna dari filosofi memberi itu




Sumber :

infosihh.blogspot.co.id


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...